TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pakar Hukum Adat dan Masyarakat Bali, Prof Dr I Made Suwitra sangat setuju dengan keputusan tegas Gubernur Bali soal pembangunan kasino di Bali.
Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali ini menjelaskan bahwa langkah Wayan Koster ini adalah hal yang besar dan sangat tepat demi menjaga nama baik Bali.
Seperti diketahui, Wayan Koster dengan tegas menolak pembangunan kasino di Bali karena bisa merusak tradisi Bali.
"Langkah Gubernur menolak kasino adalah sudah tepat, karena koheren dengan pembangunan Bali terutama di bidang pariwisata yang berbasis kebudayaan Bali," kata Made Suwitra pada Minggu 17 Agustus 2025.
Baca juga: Nafas Lega Masyarakat Bali, Kenaikan Pajak PBB-P2 Tak Terjadi, Karangasem dan Klungkung Tak Naik
Kata dia, koherensi ini perlu dipertahankan sebagai pemimpin nomor 1 di Bali.
Demikian pula pembangunan yang lainnya mestinya selalu dikoherensikan dengan konsep kebudayaan Bali dan falsafah Tri Hita Karana.
"Apalagi sudah ditetapkan menjadi norma hukum dalam bentuk Perda sebagai guidence dalam membangun Bali,”
“Bali hendaknya tidak dijual untuk pariwisata tapi dikelola dengan untuk kesejahteraan sebagai kemanfaatan bersama dan pemeliharaan lingkungan dan kebudayaan Bali," jelasnya.
Lebih lanjut, Prof Suitra menuturkan, dampak kasino terhadap pariwisata di Bali secara konseptual akan dapat merusak pariwisata budaya yang berbasis agama Hindu dan akan berubah menjadi pariwisata sekuler.
"Image tentang Bali sebagai Pulau Dewata dapat semakin memudar di mata wisatawan. Jadi lebih bersifat negatif daripada positifnya," ucapnya.
Demikian pula untuk kebudayaan Bali dapat semakin tergerus nilai komunal religiusnya yang dibangun dan diwariskan oleh para leluhur dengan ciri khasnya.
Baca juga: Ribuan Warga Binaan di Bali Dapat Remisi di Hari Kemerdekaan, Termasuk Koruptor Eks Bupati Klungkung
Baca juga: Klungkung Tidak Ada Kenaikan PBB-P2, Karangasem 15 Tahun Tidak Sesuaikan Tarif NJOP
Lebih jauh, Prof Suwitra menyampaikan, ketika dasar pijak yang digunakan “Membangun Bali Berbasis Kebudayaan Bali”, maka ancaman nyata dengan dibukanya kasino di Bali adalah dapat merusak makna pembangunan dan kebudayaan Bali.
Karena dengan konsep pembangunan sebagai perubahan menuju pada kondisi yang lebih baik material dan spiritual dan berkelanjutan, maka membangun “kasino” di Bali berada di luar kebudayaan Bali.
Yang dilandasi konsep komunal religius dengan berbagai aspek empirisnya yang dan sudah terbukti memberikan manfaat besar dalam perkembangan pariwisata.
"Jadi membangun kasino di Bali dapat dinyatakan tidak relevan dan tidak koheren dengan konsep pembangunan Bali berbasis kebudayaan Bali," tandasnya.
Bahkan dapat dinyatakan bahwa dapat meningkatkan angka kriminalitas.
Oleh karena itu, kriminalitas dapat meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk sebagai salah satu ciri masyarakat maju perspektif sosiologis.
"Kondisi ini tentu tidak mesti dibiarkan oleh negara yang mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari tindakan yang menyimpang," tukas dia.
Bali yang dibangun berbasis kebudayaan Bali sejak tahun 1920-an melalui kebijakan “Balisering” sudah nyata mampu menjadi fondasi perkembangan pariwisata di Bali.
Bahkan terus berkembang dan mampu bersaing ditingkat dunia, dan mampu memberikan manfaat ekonomi terutama bagi pelaku pariwisata (investor).
Hanya saja, menurutnya, belum dapat dinikmati secara langsung oleh krama desa adat dan desa adat sebagai pusat pembinaan kebudayaan Bali yang berbasis agama Hindu yang menjadikan pariwisata berkembang di Bali dan tetap kompetitif.
Ia menambahkan, pungutan kepada wisatawan yang sudah dilakukan dan akan dimanfaatkan untuk pemeliharaan lingkungan dan kebudayaan Bali belum dibuktikan implementasinya.
Oleh karena itu, kata Prof Suwitra, kehadiran negara dibutuhkan tidak hanya meregulasi tapi mengimplementasikan sesuai dengan amanah dan tujuan awal diberlakukannya Perda dimaksud.
"Tidak mesti ditunda, karena lingkungan dan kebudayaan Bali memerlukan biaya dalam pengembangan dan pelestarian serta perlindungannya oleh desa adat," pungkasnya. (*)