Namun, persoalan ada pada harga yang melonjak jauh dari biasanya.
Ia pun mencoba mencari melalui aplikasi belanja daring Astro.
Dea awalnya berniat membeli merek-merek yang biasa ia konsumsi, seperti Topi Koki atau Platinum.
Namun, ia terkejut ketika mendapati harga untuk kemasan 5 kg sudah berada di kisaran Rp 80.000, jauh lebih tinggi dari harga biasanya.
Dea melanjutkan, biasanya suaminya yang membeli beras langsung di ritel modern.
Namun kali itu, ia kaget ketika mengetahui harga beras premium sudah melambung tinggi.
Karena penasaran, mereka mencoba membandingkan harga dengan pilihan lain.
Di Astro, mereka menemukan merek yang tidak begitu dikenal, seperti “Anak Emas” atau merek internal Astro.
Harga merek-merek tersebut relatif lebih rendah, sekitar Rp 70.000 sampai Rp 76.000 per kemasan 5 kg.
Karena itu dianggap paling murah dibanding merek langganan yang sudah menembus Rp 80.000, akhirnya mereka memutuskan membeli dua sak, masing-masing 5 kg.
Baik Kris maupun Dea menekankan hal yang sama: pemerintah harus segera turun tangan.
Bagi mereka, beras adalah kebutuhan pokok yang tak bisa digantikan.
Lonjakan harga beras premium saat ini menunjukkan tekanan nyata yang bukan hanya menyasar kelompok berpendapatan rendah, tapi juga mulai mencengkeram kelas menengah.
Dengan kenaikan yang drastis, ruang gerak rumah tangga untuk mengatur pengeluaran makin menyempit, apalagi di tengah biaya hidup lain yang juga kian merangkak.
Kini, lorong beras di supermarket bukan lagi sekadar tempat orang mengambil kebutuhan bulanan, melainkan juga cermin keresahan sosial-ekonomi, bagaimana mungkin kebutuhan pokok sehari-hari mendadak menjadi barang yang mencekik bahkan bagi kelompok masyarakat yang relatif mapan?