Seni Budaya

PAHAMI Penunggalan Manusia & Alam Semesta, Prof Suarka Jelaskan Pentingnya Utsawa Dharma Gita 2025

Sastra, menurutnya, bukan hanya indah secara estetika, tetapi juga menjadi jalan untuk mencerahkan batin manusia.

ISTIMEWA
SOSOK - Kurator UDG XXXII, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum,  menegaskan bahwa melalui sastra suci Weda dan lontar-lontar klasik, masyarakat diajak kembali memahami filosofi penunggalan manusia dengan alam semesta. 

TRIBUN-BALI.COM - Di tengah maraknya bencana alam, dan ketidakteraturan lingkungan yang kian terasa, Utsawa Dharma Gita (UDG) 2025 hadir bukan sekadar ajang pelestarian seni suara keagamaan, melainkan juga sebagai ruang refleksi mendalam tentang hubungan manusia dan alam. 

Kurator UDG XXXII, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum, menegaskan bahwa melalui sastra suci Weda dan lontar-lontar klasik, masyarakat diajak kembali memahami filosofi penunggalan manusia dengan alam semesta.

“Bagaimana kita menggali dan memuliakan kekuatan sumber daya alam, itulah bentuk pemuliaan kita terhadap semesta,” ujar Prof. Suarka, Sabtu (25/10/2025). 

Dalam konteks membaca Palawakya tahun ini, pihaknya mengangkat topik-topik yang diangkat dari  Lontar Wrhaspati Kalpa dan Bhuana Kosa, yang berisi ajaran tentang bagaimana kearifan lokal mengajarkan manusia untuk memuliakan, memberdayakan, dan mengelola alam secara selaras.

Baca juga: NGAKU Cari Istri Kerja di Denpasar, Agus Malah Maling Sepeda Motor Bosnya, Lalu Diamankan Polisi 

Baca juga: 38 NYAWA Melayang Akibat Lakalantas, Sebagian Kecelakaan Libatkan Pelajar atau Anak di Bawah Umur

Menurutnya, inti ajaran dalam susastra Hindu Nusantara, menegaskan bahwa alam adalah cerminan perilaku manusia keduanya saling silih pati urip atau saling membutuhkan.

Ketika manusia berperilaku serakah, alam pun menunjukkan gejala kerusakan. “Kalau alam rusak, itu pantulan dari perilaku manusia yang egois. Alam tidak lagi kita perlakukan sebagai subjek, tetapi objek. Padahal, keduanya sejatinya menyatu,” tegasnya.

Lebih jauh, Prof. Suarka menjelaskan bahwa Dharma Gita sejatinya adalah gerakan literasi spiritual dan ekologis.

Sastra, menurutnya, bukan hanya indah secara estetika, tetapi juga menjadi jalan untuk mencerahkan batin manusia.

“Sastra itu hadir untuk meliterasi masyarakat, terutama generasi muda, agar kembali eling terhadap tanggung jawabnya menjaga alam. Karena kini, semesta kita sedang dalam kondisi disorder, tidak teratur,” katanya.

Ia mencontohkan istilah dalam naskah klasik, Nitisastra  "Padiningkali”, yang menggambarkan dunia yang sudah kacau akibat manusia kehilangan keseimbangan batin.

Melalui Utsawa Dharma Gita, peserta dan masyarakat diajak melajah samilang megening, megening samilang melajah belajar dari alam, dan memahami makna hidup dari keteraturan semesta itu sendiri.

Bagi Prof. Suarka yang juga Guru Besar Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Unud, menyebut bencana-bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini bukan semata fenomena fisik, tetapi juga refleksi batin kolektif manusia.

“Ego manusia yang berakar pada manah atau kesenangan semata, menyebabkan alam tereksploitasi. Maka, melalui Dharma Gita, kita ingin menyadarkan manusia agar hidupnya digerakkan oleh budi, bukan sekadar keinginan. Kalau manahnya manuh (selaras), maka laksananya dayuh (perbuatannya baik),” ujarnya menutup.

Dengan demikian, Utsawa Dharma Gita 2025 tidak hanya menjadi wadah seni keagamaan, tetapi juga gerakan kesadaran ekologis berbasis spiritual dan budaya, yang meneguhkan kembali jati diri manusia Bali sebagai penjaga harmoni alam semesta, Bhuana Agung dan Bhuana Alit, dalam satu kesatuan suci.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved