Hari Raya Nyepi
Tradisi Megebek-gebekan di Desa Tukadmungga, Berebut Potongan Sapi
Ratusan krama Desa Pakraman Tukadmungga, Buleleng, Bali melaksanakan Pecaruan Megebek-gebekan, di perempatan desa, Selasa (8/3/2016)...
Penulis: Lugas Wicaksono | Editor: Irma Yudistirani
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Ratusan krama Desa Pakraman Tukadmungga, Buleleng, Bali melaksanakan Pecaruan Megebek-gebekan, di perempatan desa, Selasa (8/3/2016), sejak pukul 18.00 Wita.
Mereka berebut tulang belulang dan daging sapi utuh setelah dipotong.
Kelian Desa Pakraman Tukadmungga, Ketut Wicana, mengatakan Pecaruan Megebek-gebekan adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan krama desa, berasal dari delapan banjar adat di Tukadmungga, dengan memperebutkan bagian sapi yang telah dipotong.
Sapi yang telah dipotong itu sebelumnya telah dikuliti terlebih dahulu, dan diambil daging hingga organ tubuhnya untuk olahan makanan.
Sementara, bagian keempat kaki dan kepala dibiarkan utuh.

Sejumlah pemangku mengupacarai sapi sebelum pelaksanaan Megebek-gebekan, di Desa Tukadmungga, Buleleng, Bali, Selasa (8/3/2016). (Tribun Bali/ Lugas Wicaksono)
Tulang belulang dan bagian keempat kaki, serta kepala sapi itulah yang diperebutkan krama saat Megebek-gebekan.
Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka tawur kesanga Hari Raya Nyepi Caka 1938.
Tujuannya supaya krama desa saling menyama braya atau saling bertemu antara karma, agar saling mengenal lebih dekat.
Diawali pagi harinya saat tilem, diawali terlebih dahulu dengan mepepada.
Dilanjutkan mengolah makanan, yang juga berbahan daging sapi, seperti sate lilit, lawar dan sebagainya.

Seorang pemangku memercikkan air tirta kepada krama yang akan mengikuti Megebek-gebekan, di Desa Tukadmungga, Buleleng, Bali, Selasa (8/3/2016). (Tribun Bali/ Lugas Wicaksono)
Pukul 16.00 Wita, seluruh prajuru berkumpul untuk mempersiapkan sarana Pecaruan Megebek-gebekan.
Sapi yang dijadikan sarana Megebek-gebekan ini merupakan sapi betina yang sudah bertanduk dan belum dikebiri serta tidak cacat.
Sapi itu dibeli dari iuran krama desa.
“Bagi krama yang mendapatkan bagian dari sapi itu merupakan hak pribadi dan selanjutnya dibawa pulang untuk diolah sebagai masakan. Sedangkan belulang yang masih tersisa, setelah Megebek-gebekan dimasak oleh anak-anak muda. Lalu mereka berkumpul untuk menikmati bersama-sama,” ujarnya.
Megebek-gebekan sendiri telah dilakukan secara turun-menurun dari para leluhur krama desa Tukadmungga.