Krisis Air Bersih di Depan Mata! Indikasi Intrusi Air Laut Terjadi di Lima Wilayah Pesisir Bali
Hasil penelitian terbaru dari Politeknik Negeri Bali bersama Yayasan Idep Selaras Alam menyebutkan krisis air bersih di Bali sudah di depan mata
Penulis: eurazmy | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kabar buruk bagi Pulau Dewata di generasi mendatang. Hasil penelitian terbaru dari Politeknik Negeri Bali bersama Yayasan Idep Selaras Alam menyebutkan krisis air bersih (layak konsumsi) di Bali sudah di depan mata.
Terlebih, jika melihat pesatnya pembangunan pariwisata di Bali dengan tingkat eksploitasi air tanah berlebih.
Kondisi ini disebut-sebut berpotensi menjadi ancaman besar bagi ketersediaan air bersih dalam kurun 10 tahun mendatang.
Hasil penelitian selama delapan bulan pada tahun 2018 menyebutkan tingkat intrusi air laut (berdasarkan sampel data) di seluruh wilayah Bali telah mencapai 400 meter dari tepi laut.
Bahkan, jika dihitung secara real, tingkat intrusi air laut di Bali wilayah selatan sudah mencapai 1 hingga 3 kilometer.
Untuk diketahui, intrusi air laut adalah masuk atau menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya. Proses masuknya air laut mengganti air tawar ini disebut sebagai intrusi air laut.
Akibat intrusi air laut, menyebabkan kualitas air tanah terganggu (kandungan klor tinggi) sehingga tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tahun 2018, lima daerah pesisir di Bali ditemukan terindikasi telah mengalami intrusi air laut.
Lima daerah tersebut yakni Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, dan Karangasem.
Padahal sebelumnya, dari laporan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Bali tahun 2010, tidak ada nama Tabanan dan Karangasem. Itu artinya, intrusi air laut sudah semakin meluas.
Ketua Tim Peneliti Suryanegara Dwipa mengatakan, meski pihaknya tidak bisa mengklaim bahwa Bali berstatus krisis air, namun tanda-tanda menuju krisis telah ditemukan, salah satunya adalah terjadi peningkatan intrusi.
''Ini belum bisa dijadikan kesimpulan secara umum. Soal krisis tidaknya, saya tegaskan ini sifatnya hanya berpotensi. Karena data soal air tanah itu kami tidak punya data yang massif, hanya data air permukaan saja yang kami punya,'' ungkapnya dalam workshop pemaparan penelitiannya di Sanur, Denpasar, Bali, Jumat (15/2/2019).
Bahkan dampak realitasnya juga diakuinya sudah bisa dirasakan.
Hanya saja memang belum ada penemuan bukti yang mendukung secara kuantitatif. Wilayah paling tinggi terdampak kualitas air bersih ini, kata Surya, ada di Badung selatan.
"Di sana (Badung, red) tingkat krisisnya tinggi seiring dengan eksplorasi air tanah yang juga tinggi. Seharusnya, kalau sudah begini, kita harus mulai aware (siaga) mencari solusi komprehensif mencegah bencana krisis," harapnya.
Ketersedian Air
Ketersediaan air potensial di Bali sebanyak 7.558 juta kubik yang terdiri dari air permukaan sebanyak 6.548,96 kubik dan air tanah sebanyak 285,15 juta kubik. Sementara kebutuhannya 1.968,632 juta kubik.
Dari jumlah tersebut untuk kebutuhan domestik seperti rumah tangga, perkotaan, dan industri sebesar 10.752 kubik per detik.
Kebutuhan air non domestik seperti sekolah, rumah sakit, dan hotel sebesar 38,258 juta kubik per tahun. Sementara untuk irigasi 1421,247 juta kubik per tahun.
Aktivis Bali Water Protection Program IDEP Foundation, Komang Arya Ganaris menambahkan, seiring dengan laju industri pariwisata Bali, praktis membuat kebutuhan air meningkat.
Hal ini tidak sebanding dengan ketersediaan air di Pulau Bali yang tidak sebesar pulau-pulau lain, meski memang untuk saat ini cadangan air masih besar.
Berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan airnya dalam kurun 10 tahun sejak 2009, kata dia, rasio neraca air di Pulau Bali adalah 47%, artinya angka itu sudah hampir mendekati titik kritis.
''Jika hal ini terus berlanjut, tanpa adanya upaya perlindungan (konservasi) sumber daya air ke arah yang serius, maka jelas sudah bahwa krisis air sudah di depan mata. Harus ada upaya konservasi ke arah yang lebih serius," tegasnya.
Eksplorasi Air Tanah
Kepala Seksi Air Tanah Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, I Ketut Ariantana, mengatakan hal yang sama. Seiring kebutuhan ini membuat eksplorasi pengambilan air tanah makin tak terkendali.
''Jika ini terus dilakukan, bisa mempengaruhi kualitas dan kuantitas air turun,'' kata Ariantana, yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengda Bali.
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, ada 2.795 perizinan penggunaan air tanah.
Badung menempati posisi tertinggi dengan jumlah perizinan mencapai 1.541. Gianyar menyusul dengan jumlah 333, dan dilanjutkan Denpasar dengan jumlah 317. Dari jumlah tersebut, 80 persennya adalah hotel.
Selain itu, dari jumlah tersebut ternyata ada sekitar 1.284 yang belum memiliki izin air tanah. Data tersebut terungkap dari wajib pajak air tanah yang ternyata sebanyak 4.079.
Sebagian besar yang belum berizin tersebut adalah usaha-usaha kecil meliputi sablon, villa, pertokoan, perkantoran, supermarket, dan stasiun pengisian bahan bakar.
Hingga saat ini, pihaknya belum bisa melakukan pelarangan terkait penggunaan air tanah untuk hotel-hotel.
''Kalau yang berizin kan sudah pasti bayar pajak. Permasalahannya bukan pada boleh atau tidak. Tapi bagaimana mengendalikan agar eksplorasi terjadi secara bijaksana sesuai kebutuhan," terangnya. (*)