Griya Style

Angkul-angkul Menyerupai Candi berusia Ratusan Tahun

Kekhasan Gerbang Geria Satria

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN BALI/ I NYOMAN MAHAYASA
Angkul-angkul di komplek kediaman Geria Satria, di di Jalan Veteran, Denpasar, Bali. 

Pintu gerbang berwarna yang tingginya sekitar tiga meter itu, tidak dapat dipastikan usianya. Hanya saja itu sudah dibangun sejak lama oleh para leluhur Gus Alit

TRIBUN-BALI.COM - SATU dari angkul-angkul atau pintu gerbang di Geria Satria memiliki bentuk menyerupai candi.

Bila umumnya ukuran angkul-angkul simetris, bagian atas dan bawahnya dibuat merata, namun yang satu ini justru melebar ke bawah.

Saat ditanya apakah ada penamaan khusus untuk angkul-angkul tersebut, satu dari anggota keluarga Geria Satria, Gus Alit hanya mengatakan, “tidak ada namanya. Ya, hanya pintu gerbang saja.”

Dari beberapa pintu gerbang yang ada di Geria Satria, hanya satu saja yang memiliki bentuk yang menurutnya serupa dengan yang ada di Uluwatu, Jimbaran, Bali.

Gus Alit menceritakan, anggota keluarga maupun umat yang tangkil atau melakukan persembahyangan, akan melalui pintu gerbang terbuka itu.

“Katanya, dulu itu kan saat upacara ada Barong Landung, juga sejumlah grup tari yang akan pentas. Mereka biasanya akan membawa pajeng atau payung, juga umbul-umbul untuk upacara. Agar bisa langsung lewat, bentuknya dibuat seperti itu,” terang Gus Alit.

Pintu gerbang berwarna yang tingginya sekitar tiga meter itu, tidak dapat dipastikan usianya. Hanya saja itu sudah dibangun sejak lama oleh para leluhur Gus Alit.

Bangunannya pun belum pernah diperbaiki, sehingga benar-benar masih seperti awalnya saat dibuat, hanya lumut sudah tumbuh dan melekat dimana-mana.

Bagian atas pintu gerbang yang terbuat dari bata merah gelap itu berbentuk segi empat dengan beberapa undagan.

Semakin ke bawah, ukurannya semakin melebar dan membesar, barulah lurus sama sisi sekitar satu meter dari atas tanah.

Apabila umumnya, selalu ada ukiran yang detail dan gambar Boma tepat di bagian atas sebuah pintu masuk, namun bangunan itu terbilang sangat sederhana.

Ukirannya minim hanya di beberapa sisi, selebihnya hanya datar saja.

Sebagaimana pintu masuk yang ada di pura, ketika seseorang menuju ke dalam area utama tempat pandita memimpin upacara, terdapat sejenis tembok penyanggra atau penyapa.

Sehingga seseorang tidak langsung melihat bagian terdalamnya.

Pintu gerbang itu diapit dua patung, satu di antaranya adalah patung Sang Suratma, yang dipercaya sebagai dewa yang merekam segala tingkah pola manusia. Patung itu dibalut dengan kain hitam-putih.

Di samping itu, dirindangi juga dengan pepohonan yang meneduhkan, seperti pohon jepun.

Ditanam pula beraneka tanaman yang kerap digunakan untuk upacara persembahyangan, semisal plawa. (ni ketut sudiani)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved