Griya Style

Mau Lihat 20 Patung Peninggalan Majapahit? ke Geria Satria Saja

Patung-patung ratusan tahun percantik Geria Satria, Denpasar, Bali.

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN BALI/ I NYOMAN MAHAYASA

TRIBUN-BALI.COM - Kediaman pribadi atau keluarga besar di Bali memiliki ciri dan karakter kekhasannya tersendiri.

Setiap bangunan memiliki arti dan sejarah panjang. Model seperti ini hanya ada beberapa saja di Indonesia. Dan Bali, termasuk yang paling kuat mempertahakan kekhasan bangunannya.

Misal, kediaman di Geria Satria, di sana ada tempat persembahyangan utama. Selain itu di sana juga menyimpan warisan sejarah yang sangat bernilai.

Geria yang berlokasi di Jalan Veteran, Denpasar itu, memiliki sejumlah patung yang diyakini berasal dari masa Kerajaan Majapahit.

Keyakinan akan sumber utamanya dari Majapahit, semakin diperkuat dengan bentuk ukiran yang lebih bernuansa kejawen.

Saat Tribun Bali datang ke Geria Satria, satu dari anggota keluarga Geria Satria, Ida Bagus Alit menunjukan patung-patung di tempat persembahyangan yang tampak begitu klasik.

Beberapa di antaranya, bentuknya sudah tidak utuh lagi, diyakini akibat bencana gempa bumi. Menurut Gus Alit, usinya bisa mencapai 500 tahun.

“Saya tidak tahu pasti bagaimana asal muasal dan bagaimana patung ini hingga sampai di sani. Ini diwarisi dari generasi ke generasi. Tapi mengamati kondisinya, saat proses pengangkutan, pasti tidak mudah,” ucapnya.

“Saya kadang heran, tidak menyangka bisa menyaksikan peninggalan seperti ini. Coba saja kita bayangkan. Kalau dulu, ini sudah bisa digolongkan sebagai karya kontemporer. Lihat saja bentuk-bentuk wajahnya.”

Patung yang ada, jumlahnya sekitar 20 buah. Kondisinya memang tidak sebagaimana patung-patung yang umum ditemui selama ini, melainkan lebih seperti warisan budaya di Borobudur maupun Prambanan.

Batu-batu andesit yang menjadi bahan utama patung itu, tidak langsung disusun merekat, sehingga bentuknya menyatu.

Tapi pembuatannya justru seperti undakan, hanya ditumpuk begitu saja antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.

“Nah, untuk perekatnya, digunakan air tanah liat, wajra lempa, karena kalau dulu kan tidak ada semen. Jadi rupanya yang seperti yang dilihat sekarang,” terang Gus Alit.

Apabila dilihat kasat mata, patung itu tampaknya begitu mudah rapuh dan goyah, namun sejatinya cukup kuat melekat.

Gus Alit menunjuk beberapa patung yang bagian tangan dan kepalanya sudah tidak jelas lagi rupanya. Baginya, semua yang ada di sana, terbilang asli, belum pernah mendapat sentuhan apa-apa.

Dia mengaku, sesungguhnya bisa saja bagian-bagian yang rusak diperbaiki, sehingga bentuknya akan utuh kembali.

Namun, dengan mempertimbangkan beberapa hal, termasuk juga adanya berbagai proses upacara yang harus dilaksanakan, Gus Alit dan keluarga besarnya memutuskan membiarkannya secara alami seperti itu. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved