Griya Style
Kentalnya Arsitek Khas Bali di Balairung Puri Pemecutan
Serpihan peninggalan sejarah yang telah ada sejak tahun 1907
Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Rizki Laelani
Semuanya duduk lesehan, begitu juga dengan rajanya,” terang Gusti Ngurah yang dikenal sebagai pelukis.
Hingga kini, apabila ada pertemuan penting, semuanya duduk sejajar. Tidak ada yang berada di atas maupun bawah. Seperti yang dilihat Tribun Bali, lantai balairung diberi alas karpet warna merah.
Pembicaraan para tokoh tersebut tidak akan diketahui siapapun karena memang tidak seorangpun diizinkan berada di dekat balairung. Dalam jarak sekian meter benar-benar dikosongkan.
Balairung yang dilihat publik sekarang, bentuknya berundak, sementara saat pertama kali dibentuk, hanya datar satu lantai saja.
Banyak bagian yang telah mengalami perubahan dari aslinya, termasuk penambahan patung-patung hiasan.
Walaupun demikian, benda-benda yang dipajang di dinding balairung itu, setidaknya mampu membawa publik masuk ke kehidupan masa lampau Puri Pemecutan.
Seperti hiasan pis bolong (uang kepeng) yang tampaknya begitu kuno dan antik.
“Sebenarnya hiasan pis bolong itu untuk di tempat-tempat suci. Tapi ya, dipajang juga di sini,” ujar Gusti Ngurah.
Suasana semakin terasa lampau ketika melihat pajangan jam dinding yang mirip seperti peninggalan zaman Belanda.
Gusti Ngurah mengatakan, ruang yang ada di balairung, digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci dan sakral. Sehingga apapun yang diyakini suci, ditempatkan di balairung tersebut.
“Jika disimpan di pura atau tempat lainnya, agak riskan juga,” ucapnya.
Namun kini ruang di balairung digunakan sebagai tempat tidur oleh anggota Puri. Sementara benda-benda suci disimpan pada ruang yang terpisah di bagian atasnya. (*)