Saraswati dan Ganesha dalam Simbol Paradigma Ilmu di Bali
Filsuf Hindu Bali sudah bergelut dengan paradigma ilmu sebelumnya melalui simbol Saraswati dan Ganesha sebelum munculnya filsuf-filsuf Eropa.
Penulis: Lugas Wicaksono | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja menggelar seminar ‘Pengembangan Sistem Pengetahuan Berparadigma Ganesha dan Saraswati Sebagai Landasan Pengembangan Karekter FIS Undiksha’ di Gedung Seminar FIS, Selasa (24/11/2015).
Seminar ini menghadirkan dua pembicara, mantan Dekan FIS Undiksha, Prof Dr Nengah Bawa Atmaja MA dan Ketua Program Doktor Pascasarja IHDN, Drs Ketut Donder PhD.
Nengah Bawa Atmaja mengatakan, filsuf Hindu Bali sudah bergelut dengan paradigma ilmu sebelumnya melalui simbol Saraswati dan Ganesha sebelum munculnya filsuf-filsuf Eropa.
Kedua dewa ini menjadi bagian dari filsafat postmodernisme yang mengakui keragaman pengetahuan, termasuk agama sebagai paradigma ilmu sehingga melahirkan paradigma ilmu kenabian.
“Dengan adanya kenyataan ini maka saya berani menyatakan bahwa ketika Filsuf Barat bergelut tentang paradigma ilmu, mulai dari Plato, Aristoteles dan berlanjut ke teoretikus sosial Max Weber, Durkheim dan selanjutnya, sampai saat ini terus menjadi perdebatan ternyata para filsuf Hindu sudah mengawalinya dengan gagasan cemerlang lewat simbol Saraswati dan Ganesha,” ujarnya.
Selama ini Saraswati dan Ganesha dikenal sebagai dua dewa pengetahuan Hindu atau bisa pula disebut dua paradigma ilmu.
Berdasarkan dua jenis kelaminnya, kedua dewa pengetahuan ini menunjukkan dua model ilmu.
Saraswati sebagai ilmu perempuan, feminim, pradana atau ilmu lunak, sama dengan ilmu sosial dan humaniora.
Sedangkan Ganesha sebagai ilmu laki-laki, purusha atau ilmu keras, sama dengan IPA termasuk matematika.
“Saraswati dan Ganesha juga berperan sebagai dewa yang memberikan penyucian atau bahkan Ganesha adalah dewa perang, maka saya pun menarik kesimpulan bahwa paradigma ilmu sosial kritis yang kental dengan muatan pembebasan dan pembelaan kepada yang tertindas guna mewujudkan emansipatoris terwakili pula pada paradigma Saraswati dan Ganesha,” ungkapnya.
Berbeda dengan paradigma interpretativisme dan positivisme barat dengan dualisme dikotomik yang satu, yakni laki-laki atau ilmu keras berhak menindas atau bahkan meniadakan yang lainnya, yakni perempuan atau ilmu lunak.
Sebaliknya Saraswati dan Ganesha menganut pemikiran dualisme dialektik secara berkeharmonisan.
Keduanya tidak berpisah secara berhadap-hadapan, tetapi saling memberi dan menerima, saling melengkapi untuk mewujudkan keharmonisan.
“Ganesha di dalam dirinya secara otomatis ada Saraswati. Jika kita menyebut nama Ganesha maka kita harus ingat Saraswati, begitu pula sebaliknya. Saya menganjurkan pendidikan sebagai proses dewataisasi, dewaisasi atau yudistiraisasi,” tandasnya. (*)