Hari AIDS Sedunia
Diskriminasi, Anak Pasangan ODHA Ditolak Sekolah
“Anak saya sebenarnya sudah masuk PAUD. Tapi teman-temannya mengancam tidak mau datang ke sekolah jika anak saya masuk sekolah,”
Penulis: I Made Argawa | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Pasangan ODHA asal Tabanan sebut saja AW dan PT, juga mendapatkan perlakuan diskriminasi karena memiliki virus HIV.
Tidak hanya itu, hal sama juga dialami anak perempuan satu-satunya yang saat ini sudah memasuki usia sekolah.
“Anak saya sebenarnya sudah masuk PAUD. Tapi teman-temannya mengancam tidak mau datang ke sekolah jika anak saya masuk sekolah,” tutur AW saat ditemui Tribun Bali, Selasa (1/12/2015) kemarin.
Pihak sekolah pun ikut-ikutan melakukan perlakuan diskriminatif.
Mereka menolak putri AW.
Melihat diskriminasi terhadap putrinya karena memiliki orangtua ODHA membuat AW berpikir keras mengenai masa depan anaknya nanti, padahal anaknya memiliki tes HIV negatif.
“Anak saya negatif, sudah cek dua kali,” paparnya.
AW menambahkan, ia dan istrinya saat ini terkadang menerima perlakuan diskriminatif setiap ada kegiatan masyarakat.
Warga seolah menghindar dan bersikap sinir terhadap dirinya.
Meski penghasilan pas-pasan, AW dan istrinya tetap bekerja dengan giat.
Mereka pun tidak lepas dengan terapi pengobatan yang disarankan oleh dokter.
Setiap harinya secara rutin, AW dan istrinya meminum obat dalam hal ini ARV.
Hasilnya, kualitas hidup AW dan istrinya membaik.
“Saya tidak cepat sakit karena keberadaan virus HIV yang menyerang imun tubuh ditekan oleh obat tersebut,” terangnya.
Pengalaman menjadi ODHA juga dialami Puspa Reni.
Wanita berusia 47 tahun pernah menjalani profesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menyebabkannya menjadi ODHA.
Namun Reni yang terdeteksi positif HIV/AIDS pada tahun 2009 justru menganggapnya sebagai sebuah hikmah.
Ia merasa kini mendapatkan kehidupan dan pekerjaan lebih layak dari sebelumnya.
“Justru dengan status ini saya mendapat hikmah dengan pekerjaan lebih layak yang bisa menghidupi saya,” ujar Reni.
Telah tiga tahun menjadi Penyuluh Lapangan (PL) di YKP, ia merasa pekerjaan inilah yang menyatu dengan jiwanya.
Bahkan keempat anaknya yang tidak tinggal bersamanya pun tetap mau mengakuinya dan memberikan motivasi untuk Reni.
“Anak-anak saya ikut dengan bapaknya, kami sudah pisah 10 tahun. Tapi syukurnya anak-anak tahu dan mengerti kondisi saya,” ujar Reni. (*)