Hari AIDS Sedunia
Kisah Menyedihan ODHA, Ditolak Keluarga Besar dan Terpisah dari Anaknya
Menjadi korban terdampak virus HIV/AIDS dari almarhum suaminya yang terlebih dahulu terkena, membuat wanita dengan empat anak ini ditolak keluarga
Penulis: Cisilia Agustina. S | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ketut Rediten (41) adalah sosok ibu rumah tangga biasa.
Hingga kemudian pada tahun 2010 yang lalu ia divonis positif terdampak HIV/AIDS, di mana ini kemudian mengubah 180 derajat hidupnya.
(Terima Perlakuan Sinis, ODHA: Apa Benar Kamu Juga Tidak Terinfeksi?)
Menjadi korban terdampak virus HIV/AIDS dari almarhum suaminya yang terlebih dahulu terkena, membuat wanita dengan empat anak ini ditolak dari keluarga besarnya.
Bahkan Desi, begitu ia akrab disapa, harus dipisahkan dari dua orang anak laki-lakinya yang dibawa oleh keluarga sang suami.
Dianggap pembawa aib, itulah yang membuat ia dikucilkan bahkan hingga sekarang ini.
Tak ia pungkiri ia pun pernah mengalami stress karena hal tersebut, namun tidak serta merta mematikan semangat hidupnya.
Motivasi dari sang anak yang membuat ia bertahan dan bangkit dari masa terpuruknya.
“Diskriminasi yang cukup tinggi saat itu, saya ditolak keluarga besar dan keluarga suami saya. Ini buat saya pontang-panting bertahan hidup,” ujar Desi kepada Tribun Bali, Selasa (1/12/2015).
Bahkan di masa awal menjadi ODHA, dengan situasi ekonomi yang cukup sulit.
Ia pernah mengalami masa-masa di mana ia benar-benar hampir tidak bisa makan.
Hal ini ia alami bersama sang puteri yang tinggal bersamanya.
“Saya pernah hampir tidak makan bersama anak saya yang pertama, waktu itu dia masih sekolah. Tapi itu saya biarkan mengalir, saya jalani. Sekarang sudah saya ikhlaskan,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca mengingat kembali apa yang ia alami dulu.
Tak hanya diskriminasi HIV/AIDS yang ia terima, namun juga diskriminasi gender ia rasakan saat itu.
Di mana kedua anak laki-laki saja yang diambil oleh pihak keluarga karena dinilai lebih penting, sementara dua anak lainnya seolah dibiarkan begitu saja karena berjenis kelamin perempuan.
“Dengan anak bungsu, saya dipisahkan lima tahun dari ia bayi. Hingga enam bulan yang lalu akhirnya dikembalikan pada saya,” ujar Desi sambil melempar senyum.
Tidak ingin terpuruk, namun pengalaman tersebut menjadi pemicu baginya untuk menunjukkan bahwa ia bisa bertahan hidup dan sehat hingga saat ini.
Bahkan saat ini ia bisa berkumpul kembali secara lengkap bersama keempat anaknya.
Empat tahun menjadi ODHA membuat ia terus mengembangkan diri.
Bahkan hingga sekarang ia aktif sebagai pendamping ODHA lainnya di Yayasan Kerti Praja.
Turut bergabung di YKP, ia memiliki tujuan tersendiri karena ia tidak ingin apa yang ia alami dulu terulang kembali kepada para ODHA lainnya.
“Pengalamannya luar biasa, setiap hari saya mendengar cerita baru dan beragam. Dulu saya mengira apa yang saya alami adalah buruk dan sekali, tapi ternyata sekarang, saat mendampingi yang lain, saya merasa jauh lebih beruntung, karena mereka mengalami yang lebih miris dari saya,” ujar wanita yang bertugas di RSUP Sanglah ini.
Merasa apa diskriminasi yang ia alami adalah satu bentuk ketidakadilan dari lingkungan.
Itulah yang kemudian membuatnya ingin membesarkan hati para ODHA lainnya untuk jalan bersama melalui apa yang mereka alami saat ini untuk bertahan dan menjadi lebih baik lagi.
“Saya tidak mau teman-teman saya merasakan hal seperti itu juga. Saya sangat menyayangkan mengapa diskriminasi dari masyarakat, dari keluarga masih begitu besar untuk para ODHA,” tambahnya.
Tak hanya Desi, namun pengalaman menjadi ODHA juga dialami Puspa Reni.
Terdeteksi positif HIV/AIDS pada tahun 2009 yang lalu justru dianggapnya sebagai sebuah hikmah.
Wanita berusia 47 tahun yang pernah menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menyebabkannya menjadi ODHA ini, kini mendapatkan kehidupan dan pekerjaan lebih layak dari sebelumnya.
“Justru dengan status ini saya mendapat hikmah dengan pekerjaan lebih layak yang bisa menghidupi saya,” ujar Reni.
Telah 3 tahun menjadi Penyuluh Lapangan (PL) di YKP, ia merasa bahwa pekerjaan inilah yang menyatu dengan jiwanya.
Bahkan keempat anaknya yang tidak tinggal bersamanya pun tetap mau mengakuinya dan memberikan motivasi untuk Reni.
“Anak-anak saya ikut dengan bapaknya, kami sudah pisah 10 tahun. Tapi syukurnya anak-anak tahu dan mengerti kondisi saya,” ujar Reni. (*)