Bali Mandara Mahalango

Sanggar Seni Gita Mahardika Tampilkan Kisah Calonarang

Lakon drama tari calonarang ini mengisahkan Desa Girah di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga.

Penulis: i kadek karyasa | Editor: Kander Turnip
Tribun Bali/I Kadek Karyasa
Sanggar Seni Gita Mahardika Banjar Babakan, Desa Sukawati, Gianyar pentaskan Calonarang di event budaya Bali Mandara Mahalango di Art Centre, Denpasar, Bali, Selasa (9/8/2016) malam. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Lakon drama tari calonarang "Brahmatiu" ditampilkan dalam ajang Bali Mahalango oleh Sanggar Seni Gita Mahardika Banjar Babakan, Desa Sukawati, Gianyar, Bali.

Pentas drama tari calonarang ini ditunggu-tunggu penikmat seni pertunjukan yang diadakan di Kalangan Madya Mandala di Depan Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Art Center, Denpasar, Selasa (9/8/2016) malam.

Lakon drama tari calonarang ini mengisahkan Desa Girah di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga.

Di desa Girah ini sangat terkenal dengan perguruan ilmu hitam (ilmu pengeleakan) yang dipimpin seorang janda tua dengan julukan Dayu Datu.

Dayu Datu mempunyai anak kandung bernama Diah Ratna Mengali dan empat murid.

Tidak ada yang salah dengan Diah Ratna Mengali sosok yang sangat cantik, putih dan bersih, namun sayang, hingga Diah menginjak dewasa, tidak ada satupun pemuda yang berani mempersunting Diah Ratna Mengali sebagai istrinya.

Hal itu cukup beralasan, karena menurut pemikiran semua pemuda yang ada di Kerajaan Kediri, jika ibunya bisa menguasai ilmu peleakan, maka secara faktor keturunan anak dari Dayu Datu, yaitu Diah Ratna Mengali juga mewarisi ilmu hitam dari ibunya.

Dayu Datu sangat marah ketika mengetahui tidak ada seorang pemuda yang mau menikahi Diah Ratna Mengali.

Rasa sedih dan marah menyelimuti Dayu Datu. Keadaan seperti ini membuat Dayu Datu mengambil keputusan membalas dendam ke penduduk Kerajan Kediri.

Empat murid Dayu Datu yang mendapat ilmu dari Dayu Datu, sehingga mereka menjadi lebih sakti dan diutus Dayu Datu untuk menebarkan segala penyakit di Kerajaan Kedir.

Kerajaan Kediri dijejali bermacam penyakit, yang bisa membunuh penduduk di sana secara cepat.

Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di malam Kajeng Kliwon, para murid Dayu Datu menjalankan tugasnya, sehingga setengah dari penduduk Kerajaan Kediri meninggal dunia.

Setelah berberapa hari mengalami panik dan kebingungan di desa-desa pesisir Kerajaan Kediri, teringat dengan fitnah yang dilontarkan dari penduduk Kerajaan Kediri terhadap Dayu Datu, para tetua adat setiap desa sepakat menghadap Raja Airlangga, dan menceritakan apa yang terjadi.

Mendengar cerita rakyatnya seperti itu, Raja Airlangga tidak tinggal diam.

Kesakitan yang dialami rakyatnya merupakan tantangan terhadap dirinya. Genderang perang pun dibunyikan untuk menyerang Dayu Datu.

Saat Raja Airlangga duduk terdiam disudut istana, Patih Madri datang menghadap. Raja Erlangga menceritakan apa yang terjadi.

Dengan perasaan marah Patih Madri memohon izin agar Prabhu Airlangga menugaskannya untuk pergi menggempur pasukan Dayu Datu.

Setelah sampai di Desa Girah Patih Madri ketemu dengan Nyi Larung murid dari Dayu Datu.

Terjadilah pertempuran yang sangat hebat, namun Nyi Larung bisa dikalahkan oleh Patih Madri, Nyi Larung pun pergi meminta bantuan kepada Dayu Datu, dan Dayu Datupun menyerang Patih Madri.

Gugurnya Patih Madri dibawa oleh salah seorang prajurit keistana Kediri Raja dan disampaikan ke pada Sang Prabhu.

Mendengar kabar tersebut Sang Prabhu Airlangga marah dan membakar semangat prajurit untuk berperang.

Juga diceritakan Empu Baradah dan anaknya Empu Bahula diutus raja untuk mengobati penduduk yang terkena penyakit, namun dengan sepak terjang Empu Baradah, Empu Bahula mengawini Diah Ratna Mengali dan berhasil mencuri rahasia untuk membinasakan Dayu Datu. Singkat cerita, Dayu Datu bisa ditumpas. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved