Dharma Wacana
Turunnya Sang Bhuta Dunggulan di Hari Penyajan, ‘Jangan Mau Menang Sendiri’
Hidup ini adalah sebuah kuruksetra atau medan tempur untuk memenangkan cita-cita kebenaran, dharma.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hari ini adalah Hari Penyajan atau Penyajahan Galungan.
Kalau kita lihat dari segi arti kata, banyak hal yang bisa kita jelaskan.
Ada yang bilang penyajan itu berasal dari kata "saja", yang deskripsi filosofinya bagaimana kita memiliki kesungguh-sungguhan dan keseriusan dalam menghadapi kehidupan ini.
Hidup ini adalah sebuah kuruksetra atau medan tempur untuk memenangkan cita-cita kebenaran, dharma.
Nah, selain itu kata penyajan juga dikaitkan dengan kata nyajah atau jajah. Dalam hal ini, kata jajah artinya menaklukkan.
Nah apapun tafsirnya, yang jelas mengarahkan pada kita jangan sampai kita dijajah oleh nafsu-nafsu rendahan yang bersifat adharma.
Kalau dikaitkan dengan Sang Kala Tiga, di mana pada Redite Pon Dunggulan (Minggu) disebut dengan penyekeban, saat inilah turunnya Sang Bhuta Galungan.
Bhuta Galungan ini adalah bhuta yang bersifat ingin bertengkar.
Kemudian hari Senin atau Umanis Paing saat Penyajan itu turunnya Sang Bhuta Dunggulan, yang sifatnya hanya mau menang sendiri.
Jadi, kata nyajah artinya jangan sampai kita dilanda oleh sifat-sifat yang mau menang sendiri itu.
Di era global saat ini, peranan Hari Raya Galungan menjadi sangat vital sekali.
Bukan untuk kita menghidupkan atau membesar-besarkan ritualnya, tetapi lebih ke peningkatan pemaknaan filosofis.
Hari Raya Galungan atau kemenangan dharma melawan adharma, harus dijadikan sebuah ajaran untuk menuntun kita ke arah kehidupan yang lebih mulia.
Sebab saat ini sulit sekali untuk dibedakan, apakah cita-cita itu betul mulia.
Sebab cenderung muncul tujuan mulia, tetapi prosesnya tidak jelas. Bahkan sering hanya sekadar kepentingan ego pribadi.
Maka oleh sebab itu, di era saat ini, ketika semua orang di Penyajan Galungan itu mengkontestasikan egonya, tidak dapat kita bayangkan bagaimana sibuknya dunia ini mengurusi pehelatan-perhelatan, karena setiap orang, setiap komunitas, kelompok hingga soroh mengungkapkan ego-egonya ke ruang publik.
Dengan demikian, yang kita temukan bukan kemuliaan, justru kita mengalami degradasi (kemerosotan).
Sebab sikap egois di dalam agama Hindu, disebut dengan ahamkara artinya sifat dimana kepentingan pikiran diabdikan untuk kepentingan material (Panca Maha Bhuta).
Ketika orang dirasuki ego Panca Maha Buta, itulah orang disebut dengan Sang Kala.
Jadi dengan demikian, mari kita sekarang menggunakan Hari Raya Galungan dan Kuningan untuk introspeksi diri biar betul-betul menghilangkan sifat Bhuta Amangkurat (rasa ingin berkuasa), Bhuta Dunggulan (ingin menang sendiri), dan Bhuta Galungan (ingin bertengkar saja).
Namun untuk menghilangkan 100 persen sifat Sang Kala Tiga ini sangat sulit. Maka dengan demikian, minimal dikurangi.
Tingkat semarak keberagamaan itu harus seimbang dengan tingkat spiritual manusia. (*)