Aura Magis Pura Kehen, Tempat Penyumpahan Pejabat Kerajaan, Tak Setia akan Kena Kutukan Ini
Dalam upacara tersebut bagi pejabat kerajaan yang tidak setia kepada kewajibannya akan kena "Sapata" atau kutukan yang sangat menyeramkan, seperti
Laporan Wartawan Tribun Bali, Muhammad Fredey Mercury
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Siapa tak kenal dengan pesona Pura Kehen.
Pura terbesar di Kecamatan Bangli ini dibangun pada masa kerajaan Bali kuno.
Baca: Serana Yuyu Besi, Begini Hubungan Pura Kehen dan Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan
Secara struktur, Pura Kehen terdiri dari tiga bagian, yakni halaman depan, kemudian disusul dengan candi megah, barulah kompleks pura yang terdiri atas tiga bagian yakni palemahan-jabaan pawongan-jaba tengah, dan paryangan-jerowan sejalan dengan konsep pura-pura di masyarakat Bali kuno.
Dilihat dari sisi keunikannya, Pura Kehen yang dibuka untuk masyarakat umum ini memiliki banyak sekali keunikan.
Kesan unik terfokus pada bale kulkul yang bertengger di pohon beringin.

Tidak hanya itu, jika umumnya Pura Kahyangan Jagad menggunakan Candi Bentar sebagai pintu masuk ke dalam pura, berbeda dengan Pura Kehen.
Di Pura Kehen menggunakan Candi Kurung di depannya, sedangkan Candi Bentar berada di tengah.
Berada di kaki bagian selatan bukit Bangli di lingkungan Banjar Pekuwon, Kelurahan Cempaga, sekitar 45 km timur laut Denpasar, kesan megah disuguhkan di depan Pura Kehen.
Menurut seorang tokoh masyarakat Bangli, Anak Agung Gede Bagus Ardana, dalam sejarah Pura Kehen terdapat di tiga prasasti tembaga yang ditemukan.
Pada prasasti pertama (Prasasti Pura Kehen A) dimuat nama Hyang Api, dimana dalam prasasti ketiga menjadi Hyang Kehen, dan selanjutnya menjadi Pura Kehen.
“Di prasasti tersebut tidak tercatat tahun pembuatan prasasti, namun menurut arkeolog, prasasti tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 882-914 Masehi. Dari prasasti tersebut diperkirakan Pura Kehen sudah ada pada akhir Abad IX atau awal abad X Masehi,” ujar Agung Ardana.
Keberadaan Pura Kehen memiliki keterikatan dengan sejarah Desa Bangli.
Hal tersebut termuat dalam prasasti Pura Kehen C.
Dikisahkan pada Tahun Caka 1126 atau tanggal 10 Mei 1204 Masehi, Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunthi Ketana memerintahkan semua penduduk di wilayah Desa Bangli untuk kembali ke desanya.
Pada saat itu, terjadi wabah penyakit yang membuat masyarakat Desa Bangli berbondong-bongong meninggalkan tempat tinggalnya, sehingga Desa Bangli menjadi kosong, tidak ada anak negeri menggelar yadnya, padahal yadnya wajib diselenggarakan.
Untuk itu Raja Bali ke-18 dalam masa Bali Kuno itu menitahkan kepada Sri Dhanadhirajalancana dengan permaisurinya, Paduka Bhatari Sri Dhanadewiketu, untuk memanggil serta memulangkan kembali tanayam thani karaman i Bangli (warga masyarakat Bangli).
Sebagai kompensasinya, Raja memberi bonus, membebaskan segala pungutan pajak apapun bentuknya, karena warga Bangli dijadikan Jataka (pakandel, penopang utama) di Lokasarana sebagai pusat wilayah Desa Bangli.
Menurut Ardana, nama Bangli sebagai karaman (desa) dan Pura Kehen, memang erat kaitannya.
Keduanya pun tertulis secara otentik pada prasasti Pura Kehen C.
Itu berarti, Bangli sebagai karaman memang sudah ada sejak zaman Bali Kuno.
“Karena nama karaman Bangli pertama kali disebutkan dalam prasasti Pura Kehen C, maka dari itu ditetapkanlah hari jadi Kota Bangli pada tanggal 10 Mei 1204, sesuai dengan tanggal penulisan prasasti tersebut,” ujar Ardana.
Fungsi Khusus
Berdasarkan isi prasasti Pura Kehen B dari tahun 1049 M, pada saat itu, ketika pemerintahan Raja Anak Wungsu, Pura Kehen memiliki fungsi khusus yaitu tempat suci yang dipergunakan sebagai tempat "Penyumpahan" bagi para pejabat kerajaan.
Dalam upacara tersebut bagi pejabat kerajaan yang tidak setia kepada kewajibannya akan kena "Sapata" atau kutukan yang sangat menyeramkan, seperti Hina, Papa, Hancur keluarga dan seketurunannya, selalu terbelit noda, sengsara dan malapetaka, tidak akan menemukan kebaikan apapun.
Dewa yang dipuja dalam upacara penyumpahan tersebut adalah Hyang Api atau Hyang Kehen yaitu Dewa Agni sebagai saksi dalam wujud sebagai Dewa Api.
Sehingga fungsi Pura Kehen sebagai tempat suci dalam upacara penyumpahan didukung oleh adanya sebuah bejana, yang dibelit empat ekor ular naga yang disebut "Bejana Sarpantaka".
Sampai saat ini bejana tersebut ditempatkan dalam sebuah bangunan berbentuk gedong yang terletak di sebelah timur dari meru tumpang 11 di jeroan.
Bejana Sarpantaka pada saat dilaksanakan upacara penyumpahan berfungsi sebagai tempat "Tirta Sarpantaka" yaitu Air Suci Sumpah yang diberikan kepada mereka yang disumpah.
Sedangkan Sarpantaka artinya naga yang mematikan yang bermakna simbolis bahwa siapapun mereka yang disumpah bila tidak taat atau ingkar terhadap sumpah maka mereka akan segera menemui ajalnya.
Berdasarkan struktur pelinggih di halaman jeroan Pura Kehen, pelinggih utama adalah Meru Tumpang Solas dengan dasar Bedawangnala dibelit oleh dua naga.
Berdasarkan isi lontar Anda Bhuwana bahwa bangunan meru merupakan simbul dari huruf suci "Dasa Aksara" yaitu 10 Huruf Suci yang menjadi Urip Bhuana atau Jiwa Alam Semesta.
Masing-masing huruf suci tersebut menempati penjuru mata angin yang setelah disatukan menjadi tunggal yang disebut Wija Aksara atau "Om". Jumlahnya 11 yang disebut Eka Dasa Aksara sebagai simbul dari Eka Dasa Rudra yaitu 11 Wujud Siwa menifestasi dari Tuhan.
Maka dapat diketahui bahwa fungsi utama dari Pura Kehen adalah untuk memuja keagungan Tuhan demi ajegnya alam semesta sehingga hidup subur, aman, dan sejahtra. (*)