Agama Untuk Hidup
Saya memulai dari gambaran sering terjadinya konflik antar umat Hindu, tidak hanya di Bali, tetapi juga di luar Bali, bahkan hampir di seluruh dunia.
Ajaran agama dan ilmu harus mampu membuat umat untuk “hidup”.
Tanpa mampu untuk itu, agama akan ditinggalkan. Kita harus berhenti berdebat dan berhenti berkonflik.
Mari kita buat agama menjadi praktis, Mari kita jabarkan ajaran Weda untuk dipedomani umat, sekaligus mampu mewujudkan kehidupan umat menjadi lebih baik.
Ajaran Hindu adalah bersifat universal, sehingga harus mampu menjadi jembatan, baik jembatan antar agama atau keyakinan, maupun jembatan antar generasi Hindu.
Kita harus hindari Hindu yang menjadi sekat, yang mengkotak-kotakkan dan memisahkan antar umatnya, atau bahkan memisahkan umatnya dengan umat lain di muka bumi.
Tantangan bagi para guru-guru, para rohaniwan, dan para cendikiawan Hindu saat ini adalah:
“Bagaimana mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak hanya tahu dan paham ajaran Hindu, tetapi juga dapat mempraktikkan, dan pada akhirnya dapat menjadi Hindu yang sesungguhnya?”
Diperlukan pola pendidikan yang tepat, serta diperlukan tauladan dari para rohaniwan, dari para cendikiawan, serta dari semua yang sudah merasa Hindu.
Penyelenggaraan pendidikan yang terintegrasi, antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pembinaan karakter dan budi pekerti berdasar nilai-nilai Hinduism, harus mulai dikembangkan.
Sekolah-sekolah atau perguruan tinggi Hindu harus memiliki pola pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas sumber daya umat, serta mampu menerapkan ajaran Hinduism, sehingga akan melahirkan lulusan yang tidak hanya pintar menyebarkan ajaran Hindu dan memberikan pencerahan kepada sesama, tetapi juga mampu membuat lulusannya “menjadi Hindu”, dan pada akhirnya mampu membuat umat hidup dan sejahtera, serta mampu bersaing dalam zaman globalisasi ini.
Pola pendidikan pasraman, sangat tepat dikembangkan pada semua jenjang sekolah, sebagaimana yang saya terapkan pada SMAN dan SMKN Bali Mandara di Buleleng.
Agama ditinggalkan juga karena masih dipandang sebagai dogma atau doktrin, belum dipahami sebagai sumber ilmu, dan sumber kehidupan.
Hindu akan ditinggalkan umatnya apabila tidak memberikan manfaat nyata bagi kehidupan umatnya.
Sebagaimana ilmu marketing, produk akan diterima konsumen apabila produk itu good, useful, reliable, applicable, practical, dan easy, compact, pretty serta attractive. Inilah sebetulnya penjabaran filosofi “satyam, shivam, sundaram”dalam kekinian.
Memang, agama bukan produk, tetapi dengan mengkemas ritualnya sebagai sesuatu yang tidak memberatkan dan dapat dicintai umatnya, maka Hindu akan semakin berkembang dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umatnya dan bagi perdamaian dunia. Semoga!