Jejak Gembong Bom Bali I
Jejak Gembong Bom Bali I, Kumpulkan Informasi dari ‘Dunia Alam Gaib’, Ini yang Terjadi!
Kejadian ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia, dengan korban jiwa mencapai 202 orang.
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Arif Wachjunadi membeberkan cerita tersembunyi para bomber Bom Bali 1.
Melalui buku bertajuk Misi Walet Hitam, Menguak Misteri Dr Azhari, Komjen Pol Arif Wachjunadi menuliskan sejumlah temuan sebanyak 342 halaman.
Baca: Doktor Azhari, Otak Bom Bali Yang ‘Sulit Dikenali’, Jejaknya Berhenti di Perumahan Flamboyan
Berikut temuan Komjen Pol Arif Wachjunadi.
Tiga peristiwa pengeboman yang terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian serta dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 atau dikenal Bom Bali I, mengejutkan Indonesia hingga internasional.
Kejadian ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia, dengan korban jiwa mencapai 202 orang.
Kapolri saat itu, Jenderal Da'i Bachtiar sempat menanyakan kepada Kapolda Bali yang saat itu dijabat oleh Brigjen Budi Setiawan mengenai kebenaran adanya serangan di dua klub di Jalan Legian, Kuta, Bali yang terjadi pada Sabtu malam tersebut.
Dan ia seakan tidak percaya atas laporan anak buahnya tentang kejadian itu.
Pengungkapan kasus Bom Bali I merupakan proses panjang yang terbilang sulit.
Pihak kepolisian saat itu benar-benar harus bekerja keras.
Di antaranya dikarenakan kepolisian Indonesia sama sekali belum mendapatkan gambaran mengenai aktivitas terorisme di Indonesia.
Belum lagi saat itu bermunculan sejumlah spekulasi tentang motif dan pelaku serangan teroris yang menggunakan bom berjenis TNT seberat 1 kg dan bom RDX berbobot antara 50 sampai 150 kg tersebut.
Hal itu mendorong Kapolri Da'i Bachtiar untuk membentuk tim investigasi gabungan Polri.
Peralatan dan pengetahuan yang belum mumpuni juga mengharuskan kepolisian Indonesia bekerjasama dengan kepolisian negara lain hingga melibatkan peran paranormal atau dukun.
Hal itu tertuang dalam buku berjudul Misi Walet Hitam, Menguak Misteri Dr Azhari ditulis Komjen Pol Arif Wachjunadi.
Dalam buku setebal 342 tersebut diceritakan, sehari setelah kejadian saat sejumlah polisi dari berbagai daerah berdatangan ke lokasi kejadian, seorang dukun menawarkan bantuan.
Lantas, ia mendatangi Da'i dan menyodorkan sebuah foto bergambar seseorang yang menurutnya sebagai otak pengeboman.
Dukun tersebut memintanya untuk segera menangkap orang tersebut.
Namun, hal itu hanya dijadikan masukan oleh Da'i dalam proses pengungkapan jaringan terorisme yang ada di Indonesia.
Dari temuan Komjen Arif Wachjunadi, Kapolri Da'i Bachtiar kala itu sempat meminta Brigjen Jauhari untuk mengumpulkan seluruh informasi dari dukun.
"Brigjen Jauhari kamu saya tunjuk untuk menangani informasi perdukunan," kata Da'i, seperti dikutip dari buku tersebut.
Meski "dunia alam gaib" merupakan bidang yang paling mustahil bagi seorang anggota kepolisian, mau tidak mau Brigjen Jauhari harus melaksanakan perintah tersebut.
Tapi, semua itu dilakukan demi mengakomodasi pihak-pihak yang ingin membantu agar bisa segera menemukan petunjuk dan pelakunya.
"Itu tugas yang paling tidak mungkin bagi anggota polisi. Tapi, tetap harus dilakukan karena situasinya sangat sulit," kata Arif saat bercerita kepada Tribun di Jakarta belum lama ini.
Berbagai spekulasi terus berkembang liar paska-ledakan bom tersebut.
Banyak petugas yang terpengaruh pada asumsi publik.
Namun, tidak sedikit dari mereka yang percaya informasi dan data "alam gaib" dari paranormal.
Namun, bukannya melancarkan proses penyelidikan, metode penyelidikan tersebut justru menghambat kerja Polri.
Selain percaya takhayul, ada juga petugas yang menelan mentah-mentah kesimpulan para pengamat.
Padahal, mereka tidak terlibat dalam pencarian barang bukti dan petunjuk di tempat kejadian perkara (TKP) atau penyelidikan induktif.
Kesimpulan mereka lebih menggunakan metode deduktif atau analisa kejadian serupa dan asumsi.
Dalam buku bertajuk Misi Walet Hitam, Menguak Misteri Dr Azhari ditulis Komjen Pol Arif Wachjunadi ini juga dibeberkan penangkapan Amrozi oleh tim investigasi.
Amrozi ditangkap di rumahnya yang berada di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur pada 5 November 2002.
Setelah pencarian selama satu bulan kurang satu hari dari berbagai informasi dan petunjuk yang didapatkan tim investigasi.
Arif menuturkan, semua hal itu, tidak lepas dari kuasa Tuhan dan juga kerja keras tim yang bekerja siang malam demi pengungkapan kasus.
"Semua itu serba kebetulan dan kuasa Tuhan. Coba bayangkan, polisi sama sekali tidak tahu peta teroris Indonesia selama ini. Baru kemudian tertangkap Amrozi, semuanya terbuka," kata perwira tinggi Polri kelahiran Bogor, Jawa Barat, 14 Mei 1960, 57 tahun itu.
Pendekatan dan wawancara kepada Amrozi oleh tim investigasi saat itu juga tidak mudah.
Berbagai pendekatan sudah dicoba, tetapi Amrozi tutup mulut mengenai peristiwa Bom Bali I.
Hingga akhirnya, Kapolda Bali saat itu, Brigjen Budi Setiawan mendapatkan informasi berharga melalui "Komunikasi Kurma".
Pasalnya, saat berbuka puasa, Amrozi terbiasa memakan kurma.
Dari situlah, keduanya bisa berbincang.
"Kurma di Bali itu jarang sekali, bahkan tidak ada. Kurma didapat dari kiriman teman Pak Budi, setelah tim hampir menyerah menginterogasi Amrozi," tutur Arif.
Dari keterangan Amrozi, kemudian berturut tim menangkap anggota kombatan teroris lainnya seperti Ali Imron, Abdul Rauf dan Imam Samudra di Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
18 Bulan Cari Data
Peristiwa Bom Bali I, bagi Komjen Pol Arif Wachjunadi sangat penting untuk diungkap.
Alasannya, dari kejadian itu diketahui bahwa anggota kelompok radikal dan terorisme itu ada di Indonesia.
Bahkan menurutnya, kejadian yang menewaskan setidaknya 202 orang itu, sebagai bentuk eksistensi dari para teroris.
"Mereka mau menunjukkan diri. "Kami ada di Indonesia" begitu kira-kira. Maka saya anggap ini penting untuk diungkap secara kronologis," ucapnya.
Di tengah kesibukkannya menjadi Sekretaris Utama Lemhanas, Arif menyempatkan diri selama 18 bulan untuk mengumpulkan data dari narasumber yang masih hidup.
Dalam satu bulan, dia bisa menemui tiga sampai empat narasumber untuk dimintai datanya.
Dia juga menyempatkan diri untuk bertemu keluarga para pelaku.
"Beruntung, saya disambut hangat oleh keluarga dan banyak informasi utuh yang saya dapatkan," katanya.
Hanya saja, kendala terjadi saat dia harus menemui informan "bawah tanah" yang masih tersembunyi.
Pasalnya, dia harus benar-benar memastikan bahwa informan itu benar terlibat dalam aksi-aksi teror di Indonesia, terutama pada Bom Bali I, 15 tahun silam.
"Kalau ditanya, bagian mana yang paling sulit, semua isi di dalam buku ini sulit untuk dikerjakan.
Semua bab dari buku ini punya ceritanya masing-masing yang belum pernah dipublikasi pihak manapun," tukasnya. (amriyono prakoso-bersambung)