PT Hardys Retailindo Pailit

Kerajaan Bisnis Ritel Gede Hardi Pailit, Tak Pernah Menyangka 6 Hal Ini Sebab dan Akibatnya

Awal modal yang dibutuhkan Hardi untuk membangun Hardys hanya Rp 250 juta, yang ia dapatkan dari menjadi broker properti.

Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa/Istimewa
Suasana Supermarket Hardys di Panjer, Denpasar, Minggu (19/11/2017) siang. Di dalam supermarket tampak sepi pembeli dan hanya ada satu kasir. Inzet: I Gede Agus Hardiawan, Pemilik PT Hardys Retailindo 

Bahkan isu awalnya akan dipailitkan telah terjadi sejak awal tahun 2017.

“Ada bank yang akan mempailitkan kami, sehingga kami berjaga-jaga dan ternyata tanggal 14 Agustus ada yang mendaftarkan kami untuk mempailitkan,” jelasnya.

Berdasarkan Undang-undang kepailitan dan PKPU Nomor 37 tahun 2004, Hardi membela diri dengan mendaftar Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada tanggal 18 Agustus 2017.

“Kemudian tanggal 25 September 2017, langsung turun putusan PKPU ini. Dari tanggal 25 September ini, saya diberikan waktu 45 hari untuk menyusun proposal perdamaian. Nah sampai 9 November 2017, dan seluruh kreditur voting. Kemudian pada saat voting itu, ada kreditur yang tidak menyetujui proposal perdamaian kami, dari kreditur dua bank yang sangat keras menolak dan akhirnya proposal perdamaian kami ditolak dan kami jatuh pailit,” tutur Gede Hardi terkait kepailitan usahanya.

3.   Daya Beli Masyarakat Menurun dan Terlambat Antisipasi Tren Online

Selain itu, diakui, ada faktor eksternal dan faktor internal yang menyebabkan Hardys pailit.

“Faktor eksternalnya adalah daya beli masyarakat sedang turun. Ini dari survei Nielsen Indonesia. Penurunan daya beli khususnya di ritel sudah melebihi 20 persen pada 2017 ini,” sebutnya.

Ditambah lagi, daya saing Hardys turun karena gempuran ritel berupa minimart yang menjelajahi hingga pelosok dan menjamur di seluruh Bali.

“Parahnya lagi sales Hardys turun,” imbuhnya.

Faktor penjualan online juga turut menyumbang penurunan sales di ritel Hardys.

“Orang tinggal di Canggu, tinggal pesan langsung melalui online. Nah kami dari Hardys terlambat mengantisipasi trend online ini,” tegasnya.

Mengenai faktor internalnya, Hardi mengaku terlambat menyusun infrastruktur untuk online.

Kemudian ia terlalu ekspansif, di 12 titik untuk membangun toko baru yang tanahnya telah dibeli namun tidak bisa dibangun.

“Sumber duitnya semua dari bank, karena belum membangun kan belum menghasilkan. Sementara bank setiap detik meminta bunga, lalu saya tidak bisa bayar, ya jelas ujung-ujungnya adalah dipailitkan,” katanya.

Total utangnya Rp 2,3 triliun sedangkan total seluruh asetnya Rp 4,1 triliun dan hal ini dinilai oleh bank.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved