Tagihan Utang Pajak Gede Hardi Diduga Fiktif, Ini Kata Kuasa Hukumnya
Cuaca meminta dasar hukumnya. Namun Kanwil DJP Bali tidak memberikan jawaban dan terus melakukan penyidikan.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Merasa suratnya tak digubris Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali, Kuasa Hukum Gede Hardiawan, akhirnya memutuskan mengadukan ke Ombudsman Bali.
“Sebab tanggal 29 November kemarin, kami telah membuat surat ke kanwil agar menghentikan penyidikan pajak yang dikenakan kepada Gede Hardi dan holdingsnya Hardys. Sebab ada kesalahan dalam prosesnya,” tegasnya di Denpasar, Selasa (12/12/2017).
Cuaca meminta dasar hukumnya. Namun Kanwil DJP Bali tidak memberikan jawaban dan terus melakukan penyidikan.
Ia sangat optimistis Ombudsman akan bisa membantunya, karena ada proses dan mekanisme yang tidak lengkap dalam penetapan kasus ini.
Baginya proses hukum penyidikan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Hardys diduga melakukan tindak pidana perpajakan sebesar Rp 105 miliar.
“Kami harapkan Ombudsman bisa menguji kebenaran dugaan yang dibuat oleh Kanwil Pajak. Kasus kedua bahwa Hardys pernah dikenakan pajak Rp 22 miliar, dari ini Hardys telah setor Rp 7 miliar,” sebutnya.
Hanya saja, kata dia, dalam penetapannya tidak dilakukan pemeriksaan, padahal sesuai aturan harusnya diperiksa.
Seharusnya tidak bisa dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Oleh karena itu, ia meminta agar KPP Madya Denpasar mengembalikan dana Rp 7 miliar yang telah disetor.
“Harusnya kan diperiksa dulu yang benar,” tegasnya.
Harapannya ke Ombudsman, adalah pengembalian Rp 7 miliar dan penghentian penyidikan pajak, termasuk tidak bisa menagih Rp 105 miliar, sebelum jelas dasar hukumnya.
“Saya yakin Ombudsman akan membantu, sebab utang atau tindak pidana pajak tidak ada. Sebab semua kewajiban pajak Hardys atau Gede Hardi sudah sesuai ketentuan,” katanya.
Sebelumnya, Cuaca, mengkritisi tindakan pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak yang dilakukan oleh Kanwil DJP Bali terhadap kliennya.
Kanwil Ditjen Pajak Bali dinilai kurang mengerti aturan main tentang pemeriksaan bukti permulaan (buper) dan penyidikan pajak, sehingga terindikasi tagihan utang pajak tersebut fiktif.
Cuaca mengaku sudah beradu dalil dengan penyidik, selanjutnya penyidik sudah melaporkan ke kepala bidang dan kepala bidang mengatakan akan melaporkannya ke Kakanwil.
Pada hari Rabu, 29 November 2017 kembali Cuaca menanyakan hasil laporan ke pimpinan, namun belum ada jawaban.
“Selanjutnya kami menyurati kakanwil, menanyakan dasar hukum proses penolakan pelaporan SPT sampai ke proses Buper dan Penyidikan,” jelas Cuaca.
Lebih lanjut ia mengatakan KPP Madya tidak boleh menolak SPT yang disampaikan wajib Pajak, karena belum dilakukan pemeriksanaan, bahkan ditegaskan siapapun bisa disidik dan dipidanakan kalau melarang Wajib Pajak menyampaikan SPT .
Menurutnya, Pemeriksaan Buper boleh dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan awal terlebih dahulu.
Undang-undang Perpajakan hanya menolak menyampaikan SPT, apabila Wajib Pajak sedang diperiksa.
“Mengapa penyidik Pajak langsung ke Buper tanpa melewati tahap pemeriksaan? Kalau cara ini yang dipakai, berarti KPP menghilangkan hak-hak wajib pajak untuk melaporkan sendiri SPTnya. Cara KPP yang demikian akan memberatkan pengusaha, karena akan dikenakan sanksi 150% pada tahap Buper. Apabila 150% itu tidak dibayar, maka wajib pajak terancam lagi harus membayar sanksi 400% apabila dinaikkan kasusnya ke penyidikan pidana pajak,”imbuhnya.
Cuaca melihat KPP hanya ingin mengejar target penerimaan dengan mempermaikan peraturan pajak dan mengesampingkan hak-hak wajib pajak.
Sampai kapanpun penyidikan yang dilakukan Kanwil Pajak dengan langsung melakukan Buper tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu, maka Wajib Pajak akan merasa tertindas dan tidak mendapatkan keadilan. Itulah pertanyaan yang diajukan Kuasa Hukum ke Kanwil.
“Kami akan terus desak Kakanwil untuk menjawab surat kami, supaya fair, kami minta penyidikan pajak dihentikan dulu sebelum Kakanwil menjawab surat kami dengan tuntas”, Tukas cuaca.
Selain masalah penyidikan pajak ini, saat ini kami juga sedang menyurati KPP Madya yang terlanjur menerima sekitar Rp 7 miliar, karena ternyata surat ketetapan pajak sebesar Rp 22 miliar yang diterbitkan bodong, tidak memiliki daya tagih.
Diberi Waktu 14 Hari
Asisten Ombudsman Perwakilan Bali,Ni Nyoman Sri Widhiyanti secara resmi telah menerima laporan dari PT. Hardys yang disampaikan oleh kuasa hukumnya sendiri, Cuaca.
Sri mengatakan bahwa pelapor (PT. Hardys) telah melaporkan secara resmi ke Ombudsman RI dengan terlapor ada tiga yakni kepala kanwil Pajak Provinsi Bali, tim penyidik Kanwil Dirjen Pajak Bali dan Kepala kantor pelayanan pajak madya Denpasar.
Dari berkas laporan yang diterima Ombudsman akan dilakukan proses dari laporan secara formal dan substansi.
Ketika secara formal dan substansi sudah dipenuhi maka baru laporan bisa ditindaklanjuti.
“Kalau secara substansi laporan bisa ditindaklanjuti ombudman misalnya tidak ditangani penegak hukum lainnya, selain itu waktunya tidak kadaluarsa lebih dari 2 tahun, masuk mal administrasi bukan masuk pidana atau perdata. Kami dari masuk registrasi kemudian mempelajari diberi waktu 14 hari untuk menjawab ditindaklanjuti atau tidak,” ujar Sri Wdyatanti setelah menerima laporan dari Cuaca di Kantor Ombudsman Perwakilan Bali, Denpasar, Selasa (12/12/2017).
Sri mengatakan bahwa laporan sebenarnya sudah spesifik yakni adanya dugaan perbuatan melawan hukum dan penyelahgunaan wewenang terkait surat pemberitahuan pemeriksaan bukti dimana ada tiga masalah terkait hal tersebut.
Namun ombudsman harus mengecek kronologi dan dokumen yang ada.
Nantinya akan dilakukan klarifikasi lisan dan tertulis dengan pelapor dan terlapor.
Dari hasil klarifikasi menggali para pihak dan kita mendengarkan para pihak.
“Mediasi dan konsiliasi ini jika ada keinginan dari para pihak. Setelah semua hasil pemeriksaan nanti Ombudsman membuat saran kepada terlapor. Kami biasanya hanya saran perbaikan,” paparnya. (*)