PT Hardys Retailindo Pailit
5 Outlet Hardys yang Diambil Alih PT Arta Sedana Telah Tutup, Bagaimana Nasib Karyawannya?
Kini outlet yang dibuka tinggal empat, yaitu di Seririt, Gianyar, Sanur, dan Nusa Dua.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Bali memastikan lima outlet Hardys yang diambil alih oleh PT Arta Sedana Retailindo dari pemilik lama yang dipailitkan, I Gede Agus Hardiawan, telah tutup.
Aprindo menduga penutupan ini karena masalah internal manajemen yang sangat pelik.
Ketua Aprindo Bali, Gusti Ketut Sumardayasa, menyatakan gejala-gejala permasalahan di internal Hardys sebenarnya sudah mulai terlihat sejak pertengahan tahun 2016 baik dari sisi kelengkapan barang dan permasalahan dengan pihak supplier serta perbankan.
“Tampaknya permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh manajemen baru,” kata Sumardayasa didampingi Sekretaris Aprindo Bali, I Made Abdi Negara, saat ditemui di Denpasar, Kamis (11/1/2018).
Lima outlet Hardys yang ditutup adalah Tabanan, Kuta, Singaraja, Negara, dan Panjer (Denpasar).
Kini outlet yang dibuka tinggal empat, yaitu di Seririt, Gianyar, Sanur, dan Nusa Dua.
Sumardayasa menampik anggapan bahwa penutupan ini karena pengaruh perlambatan ekonomi serta dampak dari meningkatnya belanja online.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di Bali justru berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional yakni 6,01 persen di triwulan ke-III dibanding nasional yang hanya 5,06 persen.
Abdi Negara menambahkan, pihaknya berharap peritel di Bali tidak panik menyikapi kondisi ini.
Demikian pula, pemerintah diharapkan turun tangan dan segera melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pihak terkait, termasuk Aprindo Bali untuk menyikapi efek domino yang bisa saja terjadi.
“Ini harus dilihat sebagai sebuah kejadian luar biasa, karena penutupan ini termasuk skala besar,” jelasnya.
Ia juga menduga masalah internal manajemen yang menyebabkan kondisi Hardys seperti saat ini.
Sebab kondisi penurunan daya beli masyarakat yang sempat terjadi di akhir tahun, tidak serta merta dapat menimbulkan permasalahan skala besar.
Sektor online yang juga sering dituding sebagai biang keroknya, menurut Abdi, tidak bisa dikambinghitamkan karena secara nasional omzetnya tidak lebih dari 1,6 persen dari total omzet ritel nasional.
“Apalagi di Bali dengan segmentasi menengah ke bawah yang masih awam, jarang berbelanja online pada barang-barang grocery,” katanya.