Gerhana Bulan Total
Gerhana Bulan Total, Warga Pukul Kentongan dari Museum Serangan Belanda, Ada Kisah Mistis
Saat gerhana matahari atau gerhana bulan terjadi, warga tanpa diperintah langsung membunyikan kentongan
TRIBUN-BALI.COM, YOGYAKARTA - Puluhan tahun lalu, di Gunungkidul, Yogyakarta, saat gerhana matahari atau gerhana bulan terjadi, warga tanpa diperintah langsung membunyikan kentongan dan mengevakuasi wanita hamil ke kolong tempat tidur.
Salah seorang sesepuh Desa Bejiharjo, Karangmojo, Tukijo, menyampaikan, fenomena gerhana, baik matahari maupun bulan, dekat dengan adat Jawa dengan cerita Buto (raksasa) yang memakan sumber cahaya tersebut.
Cerita 'gugon tuhon' itu dipercayai turun temurun.
Baca: Link Live Streaming Super Blue Blood Moon Melalui Pantauan NASA & BMKG, Sudah Terlihat Perubahan!
"Masyarakat di sini percaya tentang fenomena gerhana matahari dan bulan ialah adanya raksasa yang memakan matahari," katanya, Kamis (31/1/2018).
ukijo mengatakan, dulu masyarakat Gunungkidul lebih takut terhadap fenomena gerhana bulan dibandingkan matahari.
Pasalnya, saat gerhana bulan terjadi, suasana menjadi gelap dan listrik belum masuk ke desa.
Setelah itu, warga memukul kentongan dan lesung, untuk mengusir raksasa yang mengambil bulan.
Tak hanya itu, keluarga yang sedang hamil diwajibkan masuk ke tempat tidur untuk menghindari bayi dalam kandungan cacat.
"Setelah selesai gerhana, perut ibu hamil diolesi abu hangat yang berasal dari perapian dapur, tidak boleh yang dingin, sambil mengucapkan 'ojo kaget yo jabang bayi (jangan kaget ya jabang bayi)."
Selain ibu hamil, hewan peliharaan seperti kambing dan sapi pun diolesi abu pada perutnya," tuturnya.
Mbah Jo, panggilan akrab Tukijo, mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi pukul kentongan dan lesung sudah mulai jarang dilakukan berkurang saat gerhana datang.
Namun di Dusun Gelaran, masih ada sejumlah warga yang melakukannya.
Saat terjadinya Super Blue Blood Moon pada Kamis malam ini, warga Dusun Gelaran akan memukul kentongan dari monumen serangan Belanda ke desa gelaran pada 10 Maret 1949.
"Kami mempersiapkan teropong dan kentongan untuk melestarikan tradisi," kata salah satu warga, Arif Sulistiyo.