Simpang Ring Banjar
Banjar Kelandis Pusat Berkembangnya Legong Kelandis, Hingga Kini Selalu Mesolah Tiap Piodalan Banjar
Banjar Kelandis Desa Sumerta Kauh sempat menjadi salah satu lokasi berkembangnya kesenian legong di Denpasar
Penulis: Ni Putu Diah paramitha ganeshwari | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Banjar Kelandis Desa Sumerta Kauh sempat menjadi salah satu lokasi berkembangnya kesenian legong di Denpasar.
Legong ini bernama Legong Kelandis, sesuai dengan nama daerah tarian ini dikembangkan pertama kali.
Tarian ini digarap oleh maestro palegongan, I Nyoman Kaler, yang menetap di Pagan.
Di bawah bimbingan I Nyoman Kaler, lahir beberapa nama penari Legong Kelandis di antaranya Ni Polok, Ni Ciblun, dan Ni Reneng.
Sosok Ni Polok dan Ni Ciblun yang sedang menarikan Legong Kelandis rupanya sempat terekam dalam dokumentasi Colin McPhee, musikolog asal Kanada ketika berkunjung ke Bali antara tahun 1931-1935.
Dokumentasi itu kini dapat dilihat dalam proyek dokumentasi Bali 1928 Volume III yang dapat diakses bebas melalui laman webstite.
Hingga kini gelungan (perhiasan untuk penari) Legong Kelandis yang pertama masih disimpan dan dirawat oleh krama Banjar Kelandis.
Jumlah gelungan-nya ada tiga buah.
Setiap piodalan banjar, gelungan ini selalu dipakai mesolah.
Hal ini untuk menjaga agar spirit kesenian Legong di Banjar Kelandis tidak punah.
Kelian Dinas Banjar Kelandis, I Wayan Darmawan, menyebut krama banjar hingga kini masih semangat untuk berkesenian.
Ketika banjar mengumumkan bahwa akan ngayah Legong, selalu saja ada krama yang mengajukan diri untuk menari.
“Baik kaum ibu maupun para teruni dipersilakan untuk ngayah. Tidak ada batasan untuk menarikan Legong di banjar kami. Asalkan ada kemauan dan niat ngayah, tentu kami menyambut dengan senang hati,” ujar dia.
Darmawan pun mengungkapkan jika tari Legong yang dipentaskan saat piodalan tidaklah harus Legong Kelandis.
“Di Bali ada banyak jenis tari Legong dan semuanya tetap harus dilestarikan oleh generasi kini. Gelungan yang dipakai Legong Kelandis pun bentuk dan rupanya hampir sama seperti Legong pada umumnya. Jadi tinggal menyesuaikan kostum dengan tarian yang ingin dibawakan,” tutur dia.
Sesuhunan Ratu Agung
Selain melestarikan kesenian Legong, Banjar Kelandis pun merawat sesuhunan Barong Ratu Ngurah Agung.
Keberadaan sesuhunan ini sangat disucikan oleh krama Banjar Kelandis.
Seperti halnya Legong, Barong pun biasanya mesolah setiap piodalan.
Tarian barong ini biasa dibawakan oleh penari laki-laki.
Darmawan pun pernah menjadi penari Barong.
Menurut dia, ada kebanggaan tersendiri mendapat kesempatan ngayah untuk sesuhunan banjar.
Menurut cerita, tapel barong yang dimiliki Banjar Kelandis terbuat dari kayu yang didapat di Pura Petitenget.
Rambut Barong pada mulanya terbuat dari serat daun prasok.
Sekitar lima tahun lalu, rambut barong tersebut diganti dengan bahan rambut kuda karena yang lama sudah mulai lapuk.
Darmawan menjelaskan, bahan rambut kuda ini cenderung lebih berat dibandingkan serat prasok, sehingga penari barong sekarang pun harus lebih kuat membawanya.
Antusias Latihan Megambel
Berad di lingkungan perkotaan tidak membuat krama Banjar Kelandis melupakan seni dan budaya.
Sekaa-sekaa kesenian masih cukup aktif berlatih.
Beberapa sekaa kesenian yang ada di Banjar Kelandis di antaranya sekaa gong, sekaa angklung, dan sekaa shanti.
“Minat masyarakat, terutama anak muda dalam mempelajari sesungguhnya sangat besar. Setiap diumumkan akan ada latihan seni, megambel misalnya, mereka pasti sangat antusias. Hanya saja karena keterbatasan tenaga pengurus, keaktifan sekaa-sekaa ini sedang agak menurun. Meskipun demikian anak-anak kami tetap bersemangat mempelajari seni dengan berlatih di institusi lainnya. Ketika banjar memerlukan tenaga mereka, anak-anak pasti siap untuk ngayah,” imbuh Darmawan. (*)