Simpang Ring Banjar

Simbol Pertemuan Purusa dan Pradana, Tarian Sakral Ratu Brutuk di Desa Terunyan

Tarian ini merupakan ilen-ilen (hiburan) dalam rangkaian upacara purnamaning kapat lanang yang digelar tiap dua tahun sekali

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Pementasan Ratu Brutuk di Pura Pancering Jagat Desa Adat Terunyan. 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Desa Terunyan, Kecamatan Kintamani, Bangli memiliki tarian Ratu Brutuk.

Tarian ini merupakan ilen-ilen (hiburan) dalam rangkaian upacara purnamaning kapat lanang yang digelar tiap dua tahun sekali.

Sedangkan setiap tahun sekali, digelar upacara purnamaning kapat wadon.

Keduanya memiliki perbedaan utamanya pada simbol upacara.

Purnamaning kapat wadon, simbolnya dangsil, atau makanan yang ditata bertingkat lima.

Sementara simbol purnamaning kapat lanang yakni ilen-ilen berupa Ratu Brutuk.

Ketua Panita Karya Ngusaba Kapat Lanang, I Ketut Jaksa menjelaskan, tarian sakral ini disebut dengan Ratu Brutuk, bukan Barong Brutuk.

Sebab barong, meski disakralkan namun masih bisa dibuat.

Sedangkan Ratu Brutuk, tapel atau topengnya bukan buatan manusia.

“Tapel itu sudah ditemukan ada sejak zaman nenek moyang kami. Di samping itu juga tidak ada yang tahu secara pasti, berapa banyak jumlah tapel yang ada,” jelasnya.

Tarian ini merupakan simbol pertemuan purusa dan pradana atau penyatuan akasa dan pertiwi (langit dan bumi), yang dipercaya memberikan kesuburan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya.

Tari sakral ini juga merupakan simbol pertemuan Ida Ratu Sakti Pancering Jagat dengan Ida Ratu Ayu Dalem Dasar.

Ratu Sakti sesungguhnya merupakan seorang pengembara dari kerajaan Dalem Solo.

Menurut cerita, ia diperintahkan sang raja untuk mencari aroma wangi yang tercium hingga tanah Jawa bersama dengan tiga orang pengembara lainnya.

Namun dalam perjalanan, satu demi satu pengembara tersebut tidak melanjutkan perjalanannya hingga tersisa seorang pengembara.

Setibanya, ia bertemu dengan seorang dewi yang bertahta dan berkuasa di Terunyan.

Aroma harum tersebut berasal dari sang dewi.

Pengembara jatuh cinta dan menikahi sang dewi.

Setelah menikah, pengembara tersebut bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat.

Sedangkan sang dewi bergelar Ratu Pingit Dalem Dasar.

“Ilen-ilen ini menjadi salah satu yang dipentaskan untuk menghibur para krama yang ngayah pada acara pernikahan itu. Bentuk-bentuk tapel, menggambarkan perwujudan karakter Ratu Sakti Pancering Jagat, yang semata-mata untuk melindungi sang istri. Tentunya dilengkapi dengan sarana, seperti cemeti (cambuk/pecut), pentung, dan daun lateng yang menyebabkan gatal,” jelasnya.

Ilen-ilen berupa pementasan Ratu Brutuk digelar selama dua hari, yakni pada tanggal 28 dan 29 September.

Pada hari pertama, penari terdiri dari 19 orang, dan pada hari kedua terdiri dari 21 penari.

Para penari Ratu Brutuk secara sadar menjelajah bagian utama mandala Pura Pancering Jagat mengenakan keraras atau daun pisang kering.

Keraras yang digunakan berasal dari pohon pisang yang baru tumbuh, dengan tinggi baru satu meter.

Selain itu, masing-masing penari juga membawa sebuah cemeti berbahan ijuk dengan panjang bervariasi, mulai dari enam hingga tujuh meter.

“Kenapa menggunakan sarana pecut? Sejatinya bukan sebuah tindakan kekerasan yang disengaja. Pecut ini bertujuan untuk mengingatkan warga untuk tulus ikhlas saat ngayah. Di samping itu juga menjadi peringatan apabila pengayah atau penonton melakukan tindakan melanggar. Contoh menaiki tembok yang seharusnya bukan tempat memasuki pura, maupun berbicara tidak sopan saat ngayah,” paparnya.

Di samping itu, Ketut Jaksa juga mengakui, tentang kepercayaan di masyarakat bilamana tidak sengaja terkena cambukan dapat menyembuhkan penyakit.

Kata dia, hal tersebut memang sempat terjadi sehingga menjadi kepercayaan secara turun temurun.

Demikian pula dengan keraras yang juga dipercaya mampu menjadi tolak bala.

“Yang jelas, seluruhnya kembali pada keyakinan para pemedek. Sebab, Ratu Brutuk dipercaya sebagai perwujudan dewa. Kapan lagi bisa mempersembahkan sesuatu dari umat langsung pada dewa? Walaupun sesuatu yang dihaturkan kecil, asalkan tulus ikhlas dipersembahkan dan beliau menerima, tentunya beliau memberikan restu untuk mengabulkan harapan dari pemedek. Sebab itu pada pementasan banyak yang mengatakan ‘nunas tu, nunas tu..,’ itu artinya para pemedek mengharapkan berkah langsung,” tuturnya.

Mereka yang menarikan Ratu Brutuk Jero adalah laki-laki yang masih perjaka berusia 15 hingga 25 tahun.

Mereka berasal dari dari lima banjar adat yang adat di Desa Terunyan, yakni Banjar Adat Terunyan, Banjar Adat Madia, Banjar Adat Bunut, Banjar Adat Puseh, dan Banjar Adat Mukus.

Para teruna tersebut harus menyucikan diri dari hawa nafsu selama 15 hari di pura, yakni mulai dari tilem hingga purnama dengan cara tidak boleh berhubungan dengan wanita (gadis).

Bilamana pantangan dilanggar, akan berakibat buruk pada teruna tersebut.

“Mengapa hanya Teruna?, karena teruna nantinya akan menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai kepala keluarga, tentu seorang pria harus kuat dan bermental baja, karena diharapkan mampu mengadapi segala rintangan dan tantangan dimasa yang akan datang,” sebutnya.

“Jika pantangan dilanggar, yang bersangkutan (teruna) akan mengalami kecelakaan, cedera, dan yang paling buruk berakibat kematian. Karena tarian ini adalah tari sakral, tentunya para teruna harus betul-betul menyucikan diri lahir maupun batin,” sambungnya. 

Bali Mula Tak Kenal Perbedaan

Berbeda dengan sistem administrasi penduduk di wilayah Desa Adat lainnya.

Di Desa Adat Terunyan, justru tidak mengenal sistem Balu Angkep.

Otomatis, seluruh krama berjumlah 642 kepala keluarga dari lima banjar adat di Desa Terunyan berstatus arepan.

Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang Desa Adat Terunyan yang merupakan Bali Mula yang tidak mengenal perbedaan.

Sebab itu di Desa Terunyan, setelah seseorang krama setempat menikah diwajibkan untuk ngayah di Desa Adat.

“Istilah ini disebut meglilig lesung, seluruh krama wajib ngayah utamanya di Pura Pancering Jagat,” ujar I Ketut Jaksa.

Istilah Bali mula yang melekat pada Desa Terunyan juga tercantum dalam tiga prasasti Desa Terunyan yakni Prasasti Terunyan A1, Terunyan A2, dan Terunan B.

Ketiganya ditulis pada tahun 833 Caka menggunakan bahasa Bali Kuna. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved