Breaking News

Dharma Wacana

Makna Saraswati, Banyu Pinaruh dan Nasi Dira

Sehari setelah merayakan Hari Suci Saraswati, umat Hindu di Bali biasanya melakukan prosesi melukat atau mandi di pemandian suci maupun segara (laut).

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/ I Putu Darmendra
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda 

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda

TRIBUN-BALI.COM -- Sehari setelah merayakan Hari Suci Saraswati, umat Hindu di Bali biasanya melakukan prosesi melukat atau mandi di pemandian suci maupun segara (laut).

Prosesi itu biasanya ditutup dengan menyantap nasi dira atau nasi berwarna kuning. Namun sebelum disantap bersama keluarga, nasi tersebut terlebih dahulu dipersembahkan ke setiap pelinggih di sanggah/merajan ataupun tempat lainnya yang ada di kawasan rumah. Apa sejatinya makna dari ketiga hal ini? Kenapa Saraswati selalu tak luput dari Banyu Pinaruh dan nasi dira?

Ketika berbicara mengenai upacara maupun hari suci, pemahaman kita tidak boleh lepas dari instrumen ruang dan waktu.

Ketika ada pada ruang dan waktu, di sana ada materi. Namun kita harus pahami, materi dalam upacara maupun hari suci adalah dalam bentuk makna atau simbol.

Hari pun, dalam hal ini, memiliki maknanya sendiri. Jadi, terkait dengan perayaan Saraswati ini, kalau kita berangkat dari konsep dasar “Kehadiran Tuhan untuk memberikan tuntunan pada umat manusia”, maka kita harus kembali membersihkan pikiran dari noda duniawi.

Sebab, Tuhan hadir ke dalam diri kita melalui pikiran yang suci. Hal yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuhan itu hanya satu, yakni manas (pikiran).

Aspek ini harus diberdayakan untuk kembali memuliakan derajat manusia. Pikiran harus ditransendensikan, menggunakan instrumen kecerdasan kebijaksanaan atau bhudi.

Oleh sebab itu, kalau pola pikir kita dilandasi oleh kebijaksanaan maupun kecemerlangan, kesadaran akan waranugraha Sang Hyang Aji Saraswati, tentu akan terjadi karya-karya yang sangat mulia.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini ciptakan dari cecek (titik). Cecek inilah yang berkembang menjadi sebuah bentuk.

Dalam dunia binatang, orang Bali mengenal crekcek (cicak), yang suaranya berbunyi ‘cecek’. Setiap cecek bersuara, di sana diyakini ada kebenaran (Aji Saraswati).

Cecek (titik) adalah sunya (kehadiran) awal dari kelahiran kita di muka bumi ini. Rangkaian cecek ini lalu melahirkan aksara.

Aksara dalam agama Hindu bukan hanya sebagai tanda daripada bunyi. Tapi dia adalah sebuah simbol.

Secara etimologi, aksara memiliki dua suku kata, ‘a’ artinya awal dan ‘ksara’ artinya mulia. Jadi, cecek adalah lingkaran yang selalu menghadirkan kemuliaan bagi manusia.

Dalam pandangan agama Hindu, kemuliaan ini dialirkan ilmu pengetahuan. Di Bali, perayaan turunnya pengetahuan ini dirayakan setiap Saniscara Umanis, Wuku Watugunung.

Masyarakat meyakini, pengetahuan tersebut diturunkan dalam bentuk air.

Sebab, air merupakan lambang kemurnian atau kesucian, yang dapat membersihkan noda sekala maupun niskala, serta mengembalikan kemuliaan manusia. Maka dari itu, umat menggelar mandi suci saat Banyu Pinaruh.

Dalam kepercayaan umat Hindu, Saraswati merupakan saktinya Bhatara Brahma. Oleh sebab itu, saya sendiri sebagai ‘yajamana’, pada Banyu Pinaruh menggelar ‘Gangga Prastita’ atau mandi weda.

Sehingga, air yang mengalir tidak hanya dalam bentuk ‘Aji Saraswati’ (ilmu pengetahuan), tetapi juga dalam bentuk tirtha amertha yang mampu membangun kemuliaan.

Barang siapa yang telah memperoleh ilmu pengetahuan, akan menikmati kemakmuran. Sebab bagaimanapun, tanpa adanya penciptaan dan ilmu pengetahuan, tidak akan ada kemakmuran.

Kemakmuran adalah progres kemajuan. Dalam hal ini Banyu Pinaruh, simbol kemakmuran ini ada pada nasi dira.(weg)

 Simak selengkapnya video di bawah ini : 

 
 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved