Usai Melahirkan Lalu Dicerai, Dilema Kewajiban Ibu Hamil Tes HIV/AIDS  

Dari puluhan klien serupa yang ditangani di LBH APIK Bali, banyak perempuan yang disingkirkan oleh suaminya, tapi tidak mau memperkarakan.

Mereka cuma menyampaikan masalahnya saja ke LBH APIK.

Bahkan, Yoke menuturkan bahwa banyak perempuan positif HIV yang bahkan statusnya tidak jelas.

“Ada yang dikembalikan begitu saja ke keluarganya, tanpa diceraikan,” ungkap Yoke.

Ibarat buah simalakama, begitulah yang terjadi di lapangan ketika ibu hamil diwajibkan tes HIV.

Padahal, pemerintah berniat ingin mengurangi angka penularan kasus HIV dari ibu ke anak.

Di satu sisi, program ini berhasil mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak dan suami.

Namun, di sisi lain masih ada masalah baru yang mungkin muncul bagi suami yang tidak mau menerima keadaan istrinya.

“Memang berdampak, tapi kan lebih berdampak jika tidak diketahui. Suami dan anaknya bisa tertular. Seharusnya kalau beneran cinta, kan tidak sampai seperti itu ya (cerai). Katanya menerima apa adanya, menerima suka maupun duka. Nah kok malah mau enaknya saja, Ini yang disayangkan,” beber Yoke.

Yoke mengungkapkan, kasus ibu hamil positif HIV yang banyak konseling ke LBH APIK, paling banyak dari Gianyar.

Mereka mengambil obat secara rutin di Denpasar.

“Jadi sebenarnya mereka dari luar Denpasar. Tapi karena mungkin malu, tidak ingin ketahuan, mereka ambil obat ARV (obat untuk AIDS) di Denpasar,” kata Yoke.

Yoke mengatakan, apabila ada ibu hamil yang pada saat dites hasilnya positif, maka harus segera ditangani agar penyakitnya tidak sampai menular ke bayi dalam kandungannya.

Si ibu harus dilahirkan secara cesar, dan tidak diizinkan untuk menyusui anaknya.

Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) juga sempat menangani sejumlah klien yang mengalami masalah pasca pasangan suami istri melakukan tes HIV.