Simpang Ring Banjar

Pantang Bunyikan Suara Saat Masuk ke Pura, Sima Hukum Diyakini Secara Turun-temurun

Banjar Adat Umbalan memiliki berbagai keunikan, satu di antaranya tidak diperkenankan membunyikan suara saat memasuki pura

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Bendesa Umbalan, I Wayan Tekek bersama Camat Tembuku, Dewa Agung Putu Purnama, saat berada di Pura Dalem Pingit, Selasa (4/12/2018). 

Namun demikian pantangan yang ada, berlaku, serta dipercaya secara turun-termurun di Pura Dalem Pingit merupakan imbauan positif bagi seluruh masyarakat.

“Terlepas dari apapun, tujuan pantangan ini baik bagi masyarakat. Yakni untuk meningkatkan konsentrasi serta keihklasan saat dimulainya upacara. Sebab apabila menggunakan perhiasan, saat benda itu hilang pasti timbul onar dan mengganggu jalannya upacara. Termasuk dengan larangan berbicara, tujuan lainnya agar lebih memfokuskan diri dalam peribadatan saat berada di dalam areal pura,” ungkapnya.

Tak Boleh Poligami

Selain larangan mengeluarkan bunyi, Banjar yang dihuni oleh 190 KK ini juga melarang poligami.

Satu sisi, jelas Wayan Tekek selaku Bendesa Desa Pakraman Umbalan, merupakan sebuah penghormatan bagi kaum hawa.

Namun dilain sisi, alasan larangan berpoligami jelas Wayan Tekek, berdasarkan mitologi, ida betara yang berstana di Pura Gede memiliki istri dua, yakni dari Desa Bonyoh, Kintamani dan Dari Banjar Adat Umbalan.

Sebab itulah di Pura Penataran dan Bale Agung Umbalan, terdapat dua bangunan Bale Agung.

“Hal ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat sekitar, namun juga berlaku bagi masyarakat luar yang hendak memasuki areal Pura. Bukan prajuru melarang berpoligami, sebab faktanya dalam awig-awig tidak ada larangan yang menyebutkan tentang poligami, pun demikian dalam undang-undang perkawinan. Namun, lagi-lagi hal ini kepercayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat,” katanya.

Lanjut Wayan Tekek, larangan bersembahyang di Pura Penataran dan Bale Agung Umbalan tidak hanya mengacu pada satu keluarga yang melakukan poligami.

Larangan itu juga berlaku bagi keluarga lainnya, yang tinggal dalam satu pekarangan.

Tuturnya, pantangan ini akan muncul dengan sendirinya apabila dilanggar.

Seperti cuaca yang semula cerah, tiba-tiba menjadi tidak bersahabat.

“Selain dilarang ke pura, mereka juga tidak diperbolehkan membantu masyarakat lain yang memiliki acara upacara ke pura. Karenanya masyarakat yang melakukan poligami memilih untuk mengucilkan diri sendiri, agar keluarganya tetap bisa ke Pura. Dan oleh masyarakat lain, hal ini dijadikan sebuah pembelajaran,” ungkapnya.

Berkaitan dengan nama Umbalan, menurut Wayan Tekek nama tersebut berkaitan dengan upacara tumpek landep dan purnama kapitu.

Sebab dalam upacara tumpek landep yang digelar di Banjar Adat Umbalan, hanya melibatkan kaum laki-laki.

Mulai dari natab sayut berjumlah 11 macam, hingga prosesi pasupati benda-benda tajam berupa senjata.

“Satu-satunya yang hanya melibatkan wanita yakni saat upacara manis Galungan,” terangnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved