Simpang Ring Banjar
Jejak Sejarah Bali Tempo Dulu di Desa Puhu, Kuatnya Sistem Gotong Royong & Angkul-angkul Kuno Ini
Suasana Bali tempo dulu masih sangat kental di Banjar Puhu, Desa Puhu, Payangan masih.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ady Sucipto
Namun mereka belum bisa menarik keuntungan seperti yang dilakukan Desa Pakraman Penglipuran, Bangli.
“Kebutulan banjar kami jalur cycling, jadi saat tamu lewat biasanya mereka berhenti lalu berfoto. Cuma sebatas itu, saja, tidak seperti di Penglipuran,” ujarnya.
Seiring berkembangnya zaman, gotong-royong membuat angkul-angkul sudah tak ada lagi. Namun bukan berarti sistem gotong royong telah punah di Banjar Puhu.
“Gotong royong masih ada, tapi tergantung pekerjaan.Kalau membangun, tidak. Karena tidak semua orang bisa membangun.
Tapi saat seorang warga akan membangun, lalu material pasir, batu atau batakonya datang, sorenya warga membantu mengangkut material itu ke lokasi tempat warga kami membangun. Itu tanpa dibayar. Biasanya hanya dikasi bubur kacang ijo,” ujarnya.
Penghormatan Terhadap Air
Warisan leluhur yang masih ajeg di Banjar Puhu, tak hanya angkul-angkul. Namun juga tradisi ‘magpag toyo’.
Tradisi ini berlaku umum di desa-desa di Bali. Namun lantaran perubahan zaman, sekarang tradisi parsembahan untuk air yang dilakukan oleh petani ini sangat jarang ditemukan.
Ajegnya warisan leluhur di Banjar Puhu, sehingga tak berlebihan bila menyebut banjar yang dihuni 114 Kepala Keluarga (KK) ini merupakan potret hidup Bali tempo dulu.
Kelian Adat Banjar Puhu, I Made Suardika yang juga menjabat prajuru Subak Puhu mengatakan, ritual magpag toya merupakan tradisi penghormatan terhadap air.
Ritual ini digelar setiap para petani akan melakukan aktivitas pertanian, dalam hal ini menanam padi.
Banjar yang 80 persen warganya masih mengandalkan sektor pertanian ini meyakini, ritual ini dapat memberikan kesuburan hingga menyukseskan setiap aktivitas pertanian di Subak Puhu.
Prosesi magpag toya tak hanya sekadar menghaturkan bebantenan dari anyaman daun kelapa.
Tetapi juga diisi dengan persembahan satu ekor babi guling. Sebab, krama subak menganalogikan sawah seperti manusia.
“Setiap akan mulai aktivitas di sawah, selalu didahului dengan ritual magpag toya, supaya air tetap mengalir, dan setiap petak sawah yang dialiri air ini dapat memberikan hasil yang bagus,” ujarnya. (*)