Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang, Makin Tahun Makin Kreatif Berdandan

Setiap 210 hari atau setiap enam bulan sekali, masyarakat Desa Tegallalang selalu melaksanakan tradisi ngerebeg

Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa
Foto bersama – Wisatawan terlihat foto bareng peserta dengan badan dicat berbagai warna di Tegallalang, Gianyar, Rabu (30/1/2019) saat tradisi Ngerebeg. 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Setiap 210 hari atau setiap enam bulan sekali, masyarakat Desa Tegallalang selalu melaksanakan tradisi ngerebeg.

Makin tahun dandanan ala wong samar makin kreatif dan unik.

Ratusan pengayah yang terdiri dari anak-anak dan orang dewasa berbondong-bondong menuju Pura Duurbingin, Desa Adat Tegallalang, Gianyar, Rabu, (30/1/2019) pagi.

Hampir sekujur tubuh mereka diwarnai dengan cat dengan rupa yang aneh-aneh serta kreatif.

Mereka tak hanya monoton menggunakan satu warna putih saja, namun sudah warna warni bahkan terlihat milenial alias ngejreng.

Kemarin siang, seluruh pengayah yang sudah berwujud wong samar ini pun sudah siap berjalan mengelilingi desa.

Baca: Bhisama Patih Ki Kebo Iwa, Bangunan Tak Boleh Pakai Bata dan Kayu Jati

Baca: Kehadirannya Ditunggu, Yamaha MT-15 Banyak Diminati Konsumen di Bali, Begini Spesifikasinya!

Baca: Mantan Kekasih Vanessa Angel Mandala Shoji Kini Jadi Buron

“Suryak----Eyo-Eyo---Pengayah di Duurbingin” begitu kata para pengayah sembari berjalan mengitari seluruh pura, kuburan, dan banjar di seluruh Desa Tegallalang.

Setiap ada yang meneriakkan “Suryak!”, pasti seluruh wong samar itu menjawab dengan “Eyo-Eyo”.

Tak ada satu peserta pun yang tahu makna dari kata “Suryak-eyo-eyo”, itu. 

Manggala Pura Duurbingin, Nyoman Gede Artawan menceritakan, pada zaman kerajaan Ida Dalem Ketut Segara dan Ida Dalem Dimade, dikisahkan raja memiliki 288 parekan atau anak buah yang berwujud wong samar (makhluk gaib).

Nah setiap menjelang piodalan di Pura Duurbingin, para wong samar ini tedun atau turun dan ingin berkeliling desa. 

"Makanya mereka yang ngayah pasti mepayas (berias) seperti wong samar. Itu sebagai simbolis dari wong samar. Ini juga termasuk rangkaian nyomya bhuta kala," kata pria yang juga selaku Kelian Adat Banjar Tegal, Desa Tegallalang, Gianyar ini.

Baca: Sensasi Menyedot Sumsum Sapi, Sotography Tawarkan Menu Soto Kuah Gurih Kaya Rempah-rempah

Baca: Coach Teco Fokus Latihan Taktik Bola Mati, Hati-hati Turunkan Pemain di Leg Kedua

Baca: Kunjungan Wisatawan Tiongkok Menurun, Tapi Tetap Peringkat Teratas

Artawan berharap tradisi yang ia yakini satu-satunya di Bali ini bisa tetap dilestarikan dan ajeg.

Panglingsir di Desa Adat Tegallalang, Pande Wayan Karsa menambahkan, Hiasan bermotif menyeramkan pada tubuh peserta ritual ngerebeg itu sebagai simbol sifat buruk manusia.

Ada enam musuh dalam diri manusia yang disebut Sad Ripu itu terdiri dan pertama, Kama (hawa nafsu yang tidak terkendali), yang diekspresikan dengan gadis hamil.

Kedua, Loba (rakus) yang digambarkan dengan selalu ingin memiliki lebih dan haknya.

Ketiga, Kroda (pemarah) yang diekspresikan dengan wajah yang babak belur sebagai akibat orang yang suka terlibat perkelahian.

Keempat, Moha (bingung), yang digambarkan dengan perwajahan mirip orang meninggal lantaran bunuh diri.

Kelima, Mada (mabuk) yang digambarkan dengan tampilan wajah buruk akibat suka mabuk mabukan dan suka mengonsumsi narkoba.

Keenam, Matsarya (iri hati), yang disimbolkan pada perwajahan seorang penjahat dengan pakaian berdasi. 

“Namun sekarang tampaknya masyarakat khususnya anak muda sudah lebih kreatif. Mereka menciptakan tradisi ini seperti pawai yang ada unsur seninya,” imbuh lelaki yang berusia 73 tahun ini kepada Tribun Bali.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved