Tidak Hanya Penderita yang Masih Hidup, Jenazah ODHA pun Tak Luput dari Stigma Masyarakat
Sebagian besar masyarakat masih kerap menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan maupun sebuah kutukan
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Yogi yang saat itu didampingi Erwin dari Jaringan Indonesia Positif (JIP) Bali menambahkan, stigma bagi para pecandu kerap kali dianggap sebagai pencuri, maupun kerap melakukan korupsi.
Selain juga keduanya tidak memungkiri jika dampak ke depannya akan dikucilkan oleh keluarga.
Bahkan, saking kuatnya stigma, terkadang anggapan pencuri masih kerap diterima, sekalipun telah menjadi mantan pecandu.
“Disamping itu, pecandu juga kerap kali dicap sampah masyarakat lantaran pola hidup yang tidak teratur. Mulai dari mental, spiritual, hingga kehidupan sosial di masyarakat. Dan para pecandu narkoba, utamanya yang menggunakan jarum suntik juga erat kaitannya dengan stigma pengidap HIV/AIDS,” terangnya.
Perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Dian Febriana mengatakan, sebenarnya penderita HIV sama dengan penderita penyakit lain, sehingga tidak perlu ditakutkan.
Dian tidak menampik jika hingga kini masih ada stigma dan diskriminasi, namun pihaknya berusaha mengurangi dan mengubah stigma itu melalui sosialisasi, penyuluhan serta edukasi yang tentunya membutuhkan waktu untuk melihat hasilnya.
“Contohnya dulu HIV tidak ada obatnya, namun sekarang sudah ada yakni Antiretroviral (ARV). Kalaupun dikatakan harus minum obat seumur hidupnya, itu pasti. Orang hipertensi, jantung, juga minum obat seumur hidup. Jadi saya rasa, HIV sudah bukan menjadi penyakit yang mengerikan, yang mematikan. Namun HIV itu sudah seperti penyakit kronis lainnya,” ujarnya.
Baca: Rayakan HUT ke-5, Fortuner Community Bali Beri Bantuan pada YPAC
Baca: Pimpin Operasi Pembebasan Sandra di Thailand, Jenderal TNI Ini Ikut Menyerbu Bersama Kopassus
Sedangkan menurut Koordinator Petriwi, Yayuk Fatmawati, pembunuh utama seseorang sejatinya bukan karena HIV ataupun narkoba, pembunuh utama yakni Stigma.
Terlebih bagi pecandu, baik pria maupun wanita biasanya memiliki stigma ganda, yakni seorang pecandu, eks-narapidana, hingga akrab kaitannya dengan status pengidap HIV.
Atas hal tersebut, lanjut Yayuk, Rumah Cemara mengadakan kegiatan kampanye Indonesia Tanpa Stigma yang dilaksanakan serentak pada 6 kota besar yakni di Bandung, Medan, Denpasar, Tangerang, Bengkulu, dan Mataram, dan komunitas Perempuan Tangguh Inspirasi Wahana Imbas napza (PERTIWI) sebagai pelaksana kegiatan berkerja sama dengan IWAPI.
Dipilihnya Bangli menjadi lokasi kampanye, kata Yayuk agar edukasi mengenai stigma ini tidak tersenteralisasi hanya di Denpasar.
Terlebih di Bangli merupakan tempat rehabilitasi provinsi yakni di RSJ Provinsi Bali, disamping juga terdapat Lembaga pemasyrakatan narkotika (lapastik), sehingga diharapkan kampanye yang dilakukan selain memberi pemahaman masyarakat, juga mampu meningkatkan kualitas rehabilitasi. (*)