Panca Wali Krama Berakhir, Larangan Ngaben pun Berakhir Ditandai dengan Nunas Tirta Panglebar
Untuk prosesi nunas Tirta Panglebar ini dilakukan oleh masing-masing perwakilan dari setiap kabupaten.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pada Jumat (12/4/2019) tepatnya Sukra Paing Ugu, merupakan akhir dari rangkaian Upacara Panca Wali Krama di Besakih.
Saat itu pula, larangan ngaben sudah tak berlaku lagi.
Diberitakan sebelumnya, serangkaian Panca Wali Krama di Pura Besakih ini, sejak tanggal 20 Januari 2019 telah dikeluarkan larangan ngaben.
Walaupun tak ada sanksi, namun PHDI Bali menyebut bahwa hal ini merupakan tradisi yang telah dilaksanakan sejak dulu.
Bahkan larangan ngaben ini termuat dalam lontar yang memuat tentang pelaksanaan Panca Wali Krama.
Setelahnya, yakni tanggal 1 Februari 2019 dilaksanakan prosesi nunas Tirta Panyengker yang kemudian dipercikkan di setra setiap desa.
Tirta Panyengker ini dipercikkan pada taneman (kuburan) atau sawa (jenazah) yang masih ada di setra yang belum diaben.
"Secara kepercayaan kalau kena Tirta Panyengker selama karya, atma sang sane kapendem (orang yang dikubur) di setra belum bisa keluar dari setra. Kalau kepercayaan kita di Bali kalau orang yang meninggal dipercaya atmanya ngayah secara niskala. Kalau belum diaben belum bisa ngayah ke karya (upacara) besar seperti ke Besakih maupun karya besar di tempat suci lainnya," kata Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana saat ditemui di IHDN, saat itu.
Baca: Duduk Bertiga di Mobil Pick Up, Widiarsih Terpental Hingga Meninggal Usai Ditabrak Truk di Bangli
Baca: Berkedok Dagang Kopi Cantik & Bertarif Rp 50 Ribu, 5 PSK di Jalan Bung Tomo Denpasar Diamankan
Setelah Panca Wali Krama ini berakhir, ada prosesi nunas Tirta Panglebar yang juga dipercikkan di setra.
Dikonfirmasi, Selasa (9/4/2019) siang, Sudiana mengatakan saat acara Pengelebar tersebutlah langsung dilaksanakan prosesi nunas Tirta Panglebar.
"Untuk prosesi nunasnya sama dengan waktu nunas Tirta Panyengker dulu dan sama juga dipercikkan di setra masing-masing desa," kata Sudiana.
Untuk prosesi nunas Tirta Panglebar ini dilakukan oleh masing-masing perwakilan dari setiap kabupaten.
Hal ini bertujuan untuk menghindari membludaknya pemedek yang hadir saat itu, apalagi saat itu merupakan hari terakhir rangkaian Panca Wali Krama.
"Biar tidak ramai, perwakilan kabupaten saja yang nunas, nanti dibagikan ke kecamatan dan kecamatan yang akan membagikan ke desa. Agar praktis, kalau seluruh desa ramai jadinya, krodit," katanya.
Baca: Minta Petunjuk Paranormal Terkait Bagian Tubuh Budi Korban Mutilasi, Kerabat Ungkap Begini
Baca: Banjar Dinas Pasar, Desa Anturan Buleleng Kembangkan UMKM Budidaya Taoge
Saat nunas Tirta Panglebar, perwakilan kabupaten diharapkan hadir pada pukul 10.00 Wita untuk nunas Tirtha Penglebar .
Adapun sarana upakaranya yakni Peras Pejati yang akan dihaturkan di Pura Dalem Puri Besakih.
"Rangkaiannya nanti di Pura Dalem Puri. Diawali dengan ngaturang pejati setelah itu baru nunas Tirta Panglebar," katanya.
Setelah dibagikan ke masing-masing desa pakraman, Tirta Panglebar tersebut dipercikkan oleh masing-masing desa pakraman di setra.
Adapun upakara saat memercikkan tirta tersebut yakni pejati, soda putih kuning dan canang burat wangi.
Setelah tirta dipercikkan, maka pengabenan pun bisa dilaksanakan kembali.
Baca: TRIBUN WIKI - Berikut 5 Tempat Wisata Ekstrim di Bali, Butuh Nyali dan Memacu Adrenalin
Baca: Bangunan Pasar Seni Geopark Batur Mulai Rusak, Kadisperindag Bangli Rencanakan Renovasi
"Setelah itu langsung bisa melaksanakan ngaben. Tirtanya dipercikkan di setra masing-masing desa pakraman," jelasnya.
Selain nunas Tirta Panglebar, saat itu penjor yang dipasang sebelum Panca Wali Krama juga dicabut
Sisa-sisa upakara dikumpulkan dan dibakar kemudian abunya dimasukkan pada bungkak nyuh gading dan ditanam.
Abu sisa di Merajan ditanam di Merajan (di belakang Palinggih Rong Tiga), sedangkan abu sisa upakara di halaman rumah dan di lebuh ditanam di lebuh, disertai canang sari 1 tanding.
"Abu penjornya dimasukkan ke dalam bungkak nyuh gading dan ditanam di halaman rumah. Abunya ditanam ini memiliki makna sebagai simbol kesuburan," katanya.
Untuk hal ini, pihaknya juga telah membuat surat edaran tertanggal 4 April 2019 yang ditembuskan ke Gubernur Bali, Ketua PHDI Pusat, Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Bali, dan Ketua MUDP Provinsi Bali. (*)