Dugaan Penipuan Pengurusan Perizinan Rp 16 M, Ketua Kadin Bali AA Alit Ngaku Setor ke Anak Pastika

Menariknya, Alit turut menyeret nama I Putu Pasek Sandoz Prawirottama, anak pertama mantan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.

Penulis: Busrah Ardans | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa
Ketua Kadin Bali AA Alit Wiraputra, digiring ke ruang tahanan di Mapolda Bali, Kamis (11/4/2019). Alit ditahan setelah ditangkap di Jakarta, Kamis pagi. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Setelah menangkap dan menahan mantan Wakil Gubernur Bali, I Ketut Sudikerta, kini Polda Bali menangkap Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Bali Anak Agung Alit Wiraputra.

Menariknya, Alit turut menyeret nama I Putu Pasek Sandoz Prawirottama, anak pertama mantan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika

Sebelumnya, Sudikerta ditahan dalam dugaan kasus penipuan, penggelapan, dan pencucian uang dalam jual beli tanah dengan pemilik PT Maspion Grup, Ali Markus, senilai Rp 150 miliar.

Sedang Alit tersangkut dalam dugaan kasus penipuan pengurusan perizinan pelebaran kawasan Pelabuhan Benoa terhadap seorang pengusaha asal Jakarta, Sutrisno Lukito Disastro, senilai Rp 16 miliar.

Alit yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (5/4), diamankan di Hotel Bellagio, Kuningan, Jakarta, Kamis (11/4) pagi.

Ia kemudian digiring ke Mapolda Bali dan langsung dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan.

Ditreskrimum Polda Bali langsung melakukan penahanan terhadap calon legislatif (caleg) DPR RI Dapil Bali dari Partai Gerindra ini karena menilai adanya indikasi tersangka melarikan diri.

Detik-detik sebelum masuk ke tahanan, Alit yang menggunakan baju tahanan Polda Bali berwarna oranye dan dikeremuni sejumlah wartawan, mengeluarkan beberapa pernyataan yang cukup mengejutkan.

Alit menyatakan adanya keterlibatan anak mantan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Putu Pasek Sandoz Prawirottama.

Disebutkan bahwa awal perjanjian dalam kasus penipuan ini merupakan perjanjian antara Sutrisno Lukito dengan Sandoz.

"Awal kesepakatan ini adalah kesepakatan antara Sutrisno Lukito dan Sandoz, bukan dengan saya. Saya diminta sebagai pengganti, menggantikan posisi Sandoz. Karena beliau anak gubernur saat itu, maka saya diminta untuk menggantikan posisi beliau," sebut dia sembari digiring ke sel tahanan Polda Bali.

Bahkan ia mengaku menyetorkan sebagian duit hasil penipuan kepada Sandoz, serta dua orang lainnya bernama Made Jayantara dan Candra Wijaya.

"Pertama saya jelaskan bahwa ini adalah Made Jayantara dan Sandoz. Uangnya oleh Jayantara, Sandoz, Candra Wijaya. 50 persen dari total itu tuh untuk Sandoz, sisanya 50 persen kami bertiga," kata Alit.

Tadi malam Tribun Bali berusaha mengkonfirmasi pengakuan Alit ini, namun Sandoz tidak merespon saat ditelepon lewat selularnya.

Sedang pengacaranya, I Wayan Sentosa, sempat mengangkat telepon tapi tidak memberikan komentar. 

Kasus Lama

Sementara dalam konferensi pers yang digelar Ditreskrimum Polda Bali mengenai kasus tersebut, Dir Reskrimum Polda Bali, Kombes Pol Andi Fairan, mengatakan Alit sudah ditetapkan tersangka pada Jumat (5/4).

Penyidik kemudian memanggil Alit pada Selasa (9/4) untuk diambil keterangannya sebagai tersangka.

"Tetapi yang bersangkutan tak hadir dan tak datang, justru berangkat ke Jakarta Senin malamnya. Sehingga kami melihat ada indikasi yang bersangkutan melarikan diri, tidak kooperatif, kami perintahkan anggota ke Jakarta. Akhirnya saya keluarkan surat penangkapan dan tadi subuh sudah kita dapat dan dibawa ke Bali dan sekarang proses pemeriksaan," kata Fairan.

Dia menjelaskannya, kasus tersebut merupakan kasus lama. Tersangka Alit bekerjasama dengan Sutrisno sebagai pengembang dan pemilik dana.

Berawal pada Januari tahun 2012 saat Alit dengan pelapor Sutrisno bekerjasama membentuk PT Bangun Segitiga Emas (BSM) yang rencananya akan bekerjasama dengan PT Pelindo III dalam pengembangan Pelabuhan Benoa.

Nantinya, Alit yang mengurus pembuatan draft dengan Pelindo, mengurus audiensi, izin, serta mengurus rekomendasi dari gubernur, serta mengurus izin prinsip dari gubernur.

"Dalam biaya operasional, yang dikeluarkan Sutrisno sebesar Rp 30 miliar untuk pengurusan sampai izin persetujuan prinsip Gubernur Bali. Dengan pembayaran pertama sebesar Rp 6 miliar. Dalam perjanjiannya, uang itu digunakan untuk audiensi dengan gubernur," terang Fairan.

Kemudian tahap kedua Sutrisno mengeluarkan sebesar Rp 10 miliar untuk mendapatkan izin rekomendasi dari gubernur.

Yang menjadi masalah, sebut dia, sampai pada tahap kedua menerima total Rp 16 miliar ini, izin rekomendasi dari Gubernur Bali tidak keluar. Sementara dana Rp 16 miliar sudah dicairkan.

"Dengan batas perjanjian selama 6 bulan kemudian izin tidak keluar sehingga korban melapor pada 20 April 2018,” kata Fairan.

Kepercayaan Sutrisno terhadap Alit sebelumnya dilakukannya karena Ketua Kadin Bali ini dikenal sebagai orang yang mempunyai kedekatan dengan para orang berpengaruh, dalam hal bisa berkomunikasi dengan masyarakat pemuda, dan tokoh agama, serta instansi pemerintahan.

Dijelaskannya lagi, sampai saat ini, izin rekomendasi dalam rangka pengembangan Pelabuhan Benoa bersama Pelindo tak ada sehingga pelapor dirugikan.

"Kita sudah menetapkan tersangka. Kita periksa Dinas Perizinan Provinsi Bali, Bappeda Provinsi Bali, dan saksi-saksi lain yang menyetir uang dan membuat kesepakatan, sampai di tingkat Pelindo kita sudah melakukan pemeriksaan,” terang Fairan.

Dari pemeriksaan ke Dinas Perizinan Bali, tidak ada anggaran seperti itu. Bappeda juga tidak ada mengeluarkan rekomendasi atas PT BMS seluas 400 hektare. 

Dari pihak Pelindo disebutkan bahwa proyek pengembangan pelabuhan merupakan kewenangan di Kementrian Perhubungan. Tidak ada kerjasama dengan pihak ketiga.

“Pelindo hanya tempat dilakukannya pengembangan. Semua proyek lelang ada di pusat. Mereka katakan kalau 2012 itu tidak ada kerjasama dengan pihak ketiga untuk pengembangan. Artinya Pelindo tidak berharap pihak ketiga juga, buktinya pengembangan sudah berjalan sekarang. Dan itu semua dari kementerian," jelasnya Fairan.

Aliran Dana

Mengenai aliran dana Rp 16 miliar, Andi Fairan menyatakan uang tersebut mengalir ke empat orang termasuk dirinya. Hal ini berdasarkan keterangan dari Alit,

"Jadi yang menerima dana di samping tersangka, ada tiga orang yang kita jadikan saksi saat ini. Masing-masing MJ, CW, dan S. Saudara S sudah kita periksa sebagai saksi karena kata tersangka ada aliran dana ke S sebesar Rp 7 miliar. Buktinya jelas dana itu ada, tapi apakah sebagai rekomendasi dan lainnya tadi, belum bisa kita buktikan," jelasnya membeberkan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, saksi S menjalani pemeriksaan pada 14 Maret lalu di Ditreskrimum Polda Bali.

"Buktinya jelas dikirim melalui mana, itu jelas. Apakah itu rangkaian dari proses perizinan atau rekomendasi, itu belum bisa kita buktikan. Barang bukti yang kita amankan dari Alit adalah transfer-transfer, kemudian surat kesepakatan antara terlapor dan pelapor. Dari keterangannya, tersangka menerima Rp 2,2 miliar sisanya itu ke tiga pihak yang lain," sambung Fairan.

Dari informasi yang dihimpun, saksi S telah menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Bali pada 14 Maret 2019.

Menurut keterangan Alit, peran S sebagai pemberi saran, petunjuk, arahan, yang berkompeten dalam perizinan ini.

Peran CW yakni menyiapkan semua gambar dalam pelebaran pelabuhan atau feasibility study (FS).

Sementara peran MJ menyiapkan segala legalitas, mengenai surat-surat yang diajukan ke Pemprov dan lainnya.

Sementara dari Rp 16 miliar yang diterima, Fairan kembali merincikan bahwa tersangka Alit menerima dana Rp 2 miliar.

Sedangkan yang diterima saksi CW Rp 6,4 miliar, saksi S Rp 7,5 miliar ditambah 80 ribu dollar atau Rp 800 juta, serta saksi MJ Rp 1,5 miliar.

Fairan menegaskan, dalam kesepakatan ini tersangka mewakili dirinya sendiri. Karenanya kasus ini bukan masuk korupsi tapi hanya penipuan atau penggelapan.

"Kecuali ini merupakan kelompok yang mengurus perizinan, ini saya akan dalami. Apalagi kalau ada indikasi tindak pidana korupsinya dan menyangkut pelayanan publik. Nanti kami buat laporan informasi dan dianalisa oleh krimsus. Dana sebesar Rp 16 miliar itu kalau digunakan kepada pihak yang lain bisa masuk ke ranah korupsi. Tapi kalau digunakan sendiri oleh tersangka, itu hanya penipuan dan penggelapan,” jelasnya.

Disinggung mengenai lamanya kasus ini terselesaikan, Fairan menyebutkan pihaknya memang membutuhkan waktu dalam penyelesaian kasus tersebut.

"Kendalanya dalam penyelesaian kasus. Kita harus memeriksa pihak Pemprov Bali dalam hal ini Bappeda dan Perizinan. Cuma masalahnya dulu itu ditangani oleh Bappeda, sekarang ada Dinas Perizinan sendiri. Jadi memang membutuhkan waktu untuk siapa saja yang bisa memberikan keterangan," jawabnya.

Sebelumnya pihak Polda Bali juga sudah mengeluarkan daftar cekal ke imigrasi kepada tersangka Alit.

Tersangka dikenakan Pasal 378 atau 372 penipuan dan penggelapan dengan ancaman 4 tahun penjara. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved