Bali Kalah dari NTB soal Kenaikan Upah, DPRD Bali Mulai Bahas Raperda Perlindungan Tenaga Kerja

DPRD Bali bersama Pemerintah Provinsi Bali mulai menyiapkan regulasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perlindungan tenaga kerja di Bali

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ratusan buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bali Bersatu melakukan aksi long march dalam memperingati Hari Buruh, Rabu (1/5/2019). Mereka berjalan dari parkiran timur Renon menuju kantor Gubernur Bali. Dalam aksinya mereka meminta pemerintah membuat peraturan daerah untuk melindungi hak-hak buruh. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - DPRD Bali bersama Pemerintah Provinsi Bali mulai menyiapkan regulasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perlindungan tenaga kerja di Bali. 

Hal ini penting lantaran selama ini kondisi upah pekerja di Bali memprihatinkan jika dibanding NTB dan daerah lain.

Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)  Provinsi Bali, I Wayan Madra menyatakan pihaknya sangat mendukung dan akan terus mengawal penyusunan Raperda tersebut.

Menurut Madra, Bali yang dikenal karena pariwisatanya ke seluruh penjuru dunia, upah pekerjanya malah dikalahkan oleh Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Selanjutnya, KSPSI juga menyoroti terkait sistem outsourcing yang prakteknya masih marak terjadi di Bali.

Padahal seharusnya outsourcing hanya diizinkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya tidak tetap.

“Nah itulah yang ingin kita perjuangkan,” kata Madra ditemui di Kantor DPRD Bali, Selasa (7/5/2019).

Dirinya juga membandingkan kenaikan persentase upah buruh di Provinsi Bali yang masih berada dibawah Provinsi NTB.

Sebenarnya secara nasional ada kenaikan upah buruh tahun 2019 sebesar 8,03 persen, namun Provinsi NTB berani menaikkan upah buruhnya melampaui nasional, hingga 10 persen.

“Kalau PP 78 berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tahun 2019 ini cuman 8,03 persen. Sedangkan dia (NTB) berani lebih dari itu yakni 10 persen,” ujarnya.

Menurutnya kalau Bali bisa juga meningkatkan persentase upah buruh hingga 10 persen, maka bisa dikatakan tergolong tinggi. Namun untuk merealisasikan hal itu harus ada keberanian dari pemerintah daerah.

Sekretaris regional Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Bali, Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana menyampaikan masih banyak permasalahan ketenagakerjaan di Bali.

Ia menjelaskan satu per satu permasalahan ketenagakerjaan di Bali.

Pertama, masih banyak tenaga kerja yang hanya dijadikan sebagai pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak.

Padahal dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang PKWT khususnya pasal 59 menyebutkan PKWT atau pekerja kontrak diberikan hanya untuk jenis pekerjaan tertentu dan selesai dalam waktu tertentu.

“Tapi apa yang terjadi? Banyak pekerja yang statusnya hanya sebagai pekerja kontrak. Pengusaha seolah-olah memiliki tafsir dan persepsi yang berbeda terhadap pasal 59 itu,” ujar dia.

Ia mencontohkan hotel, vila, restoran tidak dibangun untuk waktu tertentu, tidak dibuat untuk periode tertentu, namun untuk selamanya. Hanya saja masih banyak pekerjanya yang justru dijadikan sebagai pekerja kontrak.

Kedua, sampai saat ini masih banyak pemberangusan terhadap berdirinya serikat pekerja.

Dewa Rai mengungkapkan pihaknya saat ini masih melakukan perlawanan terhadap salah satu hotel yang ada di Seminyak.

Karena hotel tersebut telah melakukan PHK terhadap salah satu karyawannya setelah diketahui memiliki keinginan untuk mendirikan serikat pekerja.

Begitu juga pekerja di salah satu Rumah Sakit di Buleleng yang saat ini dilaporkan ke polisi karena mereka menuntut kebijakan manajemen setelah dibentuk serikat pekerja. 

Ketiga, masih banyak pekerja training atau magang di Bali yang dieksploitasi tenaganya untuk menggantikan pekerjaan staf, dan mereka layaknya bekerja seperti staf biasa.

Mereka hanya diberi imbalan sejumlah uang untuk transportasi dan makan.

Dewa Rai menyebut rasio pekerja hotel dengan jumlah kamar adalah dua berbanding satu.

Kalau hotel memiliki kamar 400 minimal pekerjanya 800 orang. Sekarang rasionya hanya 0,75 karena sebagian pekerjanya DW, outsourcing, dan kontrak.

“Saya berharap mudah-mudahan itu menjadi masukan untuk keseimbangan rasio pekerja. Saat ini yang terjadi ribuan hotel yang ada di Bali hampir separuhnya pekerjanya hanya kontrak, daily worker (DW) atau outsourcing,” ungkapnya. 

Ranperda Lengkapi Regulasi Nasional
Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta mengatakan pihaknya kini sedang membahas tentang persiapan untuk membuat Perda tentang perlindungan tenaga kerja di Bali.

Karena menurutnya masih banyak permasalahan ketenagakerjaan di Bali yang membutuhkan regulasi untuk melengkapi regulasi nasional.

“Kita perlu membuat Perda ketenagakerjaan untuk melindungi tenaga kerja di Bali,” kata Parta.

Parta menyebut poin-poin yang akan diatur dalam Perda diantaranya, pertama, menyangkut tentang sistem pengupahan.

Kedua, pengaturan menyangkut hubungan tenaga kerja dengan perusahaan.

Ketiga, pengaturan tentang parameter nilai atau angka yang diberikan ketika menentukan jumlah gaji karyawan.

“Kita ingin memasukkan komponen lokal yaitu kaitannya dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dikaitkan dengan komponen sosial budaya, sehingga upah pekerja di Bali menjadi lebih layak,” paparnya.

Selain itu, akan dirancang sistem pengupahan di Bali menjadi suatu bentuk pengupahan dengan sistem sektoral.

“Beberapa sektor yang ada di Bali kita akan jadikan kekhususan (digaji dengan UMSK) seperti pekerja pariwisata, pekerja Industri kreatif dan lainnya yang menonjol di Bali,” imbuhnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved