Wawancara Khusus - Tak Perlu Takut Beralih ke Pertanian Organik, Ini yang Harus Diperhatikan

Saat ini Pemprov Bali melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berinisiatif membuat Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Pertanian Organik

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Akademisi yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS, saat ditet di Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Unud, Selasa (7/5/2019) 

Tahun pertama barangkali tidak langsung bisa diklaim sebagai hasil organik.

Tahun kedua nah barangkali juga belum.

Nah tahun ketiga, keempat dan seterusnya sudah boleh dikatakan produk yang dihasilkan produk organik.

Dan ketika nanti beralih ya barangkali ada semacam penurunan produksi di tahap transisi itu.

Tapi begitu terus dia dilakukan secara organik, menurut saya bukan menurun (tapi) malah meningkat karena kesehatan tanah dan lingkungan itu menjadi semakin baik.

Ketika kita melakukan pertanian konvensional dengan pupuk sintetik, pestisida sintetik dan sebagainya maka persediaan hara itu akan cepat tersedia tetapi merusak sifat kimia fisik biologis tanah.

Nah ketika kita transformasi ke sistem pertanian organik dengan pupuk yang mencukupi tentunya maka sifat fisik, kimia dan biologis tanah itu akan menjadi semakin baik.

Mikroorganisme semakin baik dan lain sebagainya, karena dia tidak menggunakan pupuk sintetik.

Jadi sistem hama (dan) penyakit kembali ke sistemnya dia.

Dan jangan khawatir, itu akan menjadi semakin baik dan lingkungan akan menjadi semakin konservatif.

Kita back to nature, tidak ada yang mengalahkan sistem alami yang kalau kita lakukan dengan baik.

Baca: Kajian Akademis Rampung, DPRD Bali Siapkan Perda Sistem Pertanian Organik

Dibandingkan kita meneruskan sistem yang menggunakan pupuk berlimpah, pestisida intensif tanpa terkendali itu kan banyak membunuh musuh alami.

Kemudian mikroorganisme yang ada di tanah lingkungan bersih itu akan terbasmi secara tidak sengaja.

Padahal yang kita ingin bunuh sebenarnya kan yang negatif.

Tapi dengan menggunakan pestisida sintetik yang kita bunuh semuanya termasuk yang berguna gitu.

Mikroorganisme di dalam tanah lingkungan kan ada yang positif bagi kita, ada yang negatif.

Maksudnya menggunakan pestisida itu kan mengendalikan atau menghilangkan yang negatif tetapi dampaknya justru kita membunuh termasuk hal yang positif itu yang berguna bagi kita.

Nah kalau kita sekarang ke pertanian organik yang positif kita tingkatkan yang negatif itu kita kendalikan dengan menggunakan biopestisida, dengan pupuk organik.

Sehingga dia secara alami kesehatan dan kesuburan tanah dan lingkungan semakin bagus.

Sehingga menurut saya produksinya tidak turun mestinya.

Jangan itu ditakuti, karena banyak bukti menunjukkan ketika orang melakukan pertanian organik dengan baik, itu kesehatan tanah sosial lingkungan bagus maka produktivitas tanah juga akan semakin bagus. Tidak khawatir di situ saya.

Baca: Petani Kopi Bali Harus Hasilkan Kopi Berkualitas, Organik dan Ramah Lingkungan

Dalam implementasinya, dari mana pertanian organik ini bisa dimulai?

Pertama tentang jenis tanaman dulu , apa yang akan di organikkan dalam sistem pertanian organik ini.

Apakah ujug-ujug misalnya segala jenis tanaman.

Mestinya harus dipilih tanaman-tanaman atau komoditas yang pasarnya sudah jelas.

Atau barangkali potensi pasarnya sudah dipetakan sedemikian rupa.

Ketika ini dicantumkan dalam perda petani akan tertarik melakukan itu, pasarnya lalu jelas, infratruktur yang mendukung nanti jelas.

Yang kedua tentang lokus ya, deliniasinya dimana. Nah bagaimana menentukan deliniasi ini, apakah nanti secara sporadis misalnya pokoknya dicantumkan di seluruh Bali.

Atau pada tahap awal ditentukan lokasi-lokasi tertentu dengan kriteria yang memungkinkan untuk melaksanakan itu.

Katakanlah misalnya kalau beras (atau) padi. Padi misalnya pada lokasi yang dekat dengan sumber air dan letaknya misalnya di hulu.

Karena dia sumber airnya di hulu dan belum ada yang merecoki menggunakan pestisida buatan kemudian pupuk anorganik dan sebagainya maka begitu air keluar dari situ sudah layak untuk mengairi lokasi (atau) tempat pertanian organik akan dilaksanakan.

Tinggal sekarang pestisidanya diganti dengan biopestisida.

Atau barangkali tempat-tempat tertentu yang lokasinya dengan dengan pasar.

Nah kalau ini kan harus dipikirkan dengan sedemikian rupa sehingga dalam perda itu jelas.

Jadi tidak hanya berkaitan dengan lokasi tapi juga jenis tanamannya.

Misalnya tanaman perkebunan kopi misalnya per kecamatan (diambil). Kintamani atau barangkali Pupuan.

Ambil misalnya di sentra-sentra produksi yang saat ini proses atau sistem pertaniannya sudah mengarah ke situ.

Salak misalnya, ya sudah salak untuk di Karangasem ditetapkan sebagai salak organik begitu misalnya. Jadi deliniasinya jelas.

Ketika perdanya sudah jadi harus ada semacam percontohan-percontohan yang bisa digunakan sebagai best practice bagi petani sekitarnya.

Misanya salak Bali begitu, jadi angkatlah satu percontohan di satu (atau) dua desa tertentu.

Kemudian diberikan semacam pendanaan, infrastruktur, sarana prasarana, dilibatkan perguruan tinggi untuk melakukan pendampingan di in farmn-ya, lalu bagaimana off farm-nya, bagaimana penasarannya dan lain sebagainya, sehingga nanti segaka teknologi organik yang ada (dan) yang sudah kita miliki, baik yang dimiliki okeh masyrakat, perguruan tinggi, balai pengkajian pertanian dan dadi semua sumber lalu kita terapkan di kebun percontohan ini.

Nah itu digunakan sebagai sarana belajar bagi petani-petani di sekitarnya yang ingin mengembangkan organik untuk tanaman sejenis.

Jadi harus ada semacam percontohan yang dikeroyok secara bersama-sama.

Pemerintah ikut di dalamnya, perguruan tinggi ikut mendampingi kemudian pihak swasta misalnya sebagai buyer nantinya itu ya harus terlibat di situ.

Ketika nanti ada yang dihasilkan dari kebun percontohan itu diserap oleh buyer secara langsung.

Supaya ada semacam supply and demand itu berjalan dengan lancar di tingkat produksi yang dihasilkan. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved