Melarat di Pulau Surga
Siang Kepanasan, Hujan Kebanjiran! Tak Punya Biaya Bangun Rumah, 3 KK Tinggal Berdesakan di Tenda
Tak hanya Ketut Bulat, di atap yang sama juga tinggal dua keluarga lain, yaitu keluarga Nengah Rusman serta keluarga Wayan Mudia
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Siang Kepanasan, Hujan Kebanjiran! Tak Punya Biaya Bangun Rumah, 3 KK Tinggal Berdesakan di Tenda
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Siang Kepanasan, Hujan Kebanjiran! Tak Punya Biaya Bangun Rumah, 3 KK Tinggal Berdesakan di Tenda
Kamar berukuran 7x4 itu hanya bertembok terpal demikian juga dengan pintunya.
Sedangkan rangka di dalam kamar hanya berupa bambu.
Di tenda itu, Ketut Bulat dan keluarganya tinggal.
Terdapat beragam perlengkapan di dalam ruangan.
Ada meja, lemari pakaian, serta kasur.
Tak hanya Ketut Bulat, di atap yang sama juga tinggal dua keluarga lain, yaitu keluarga Nengah Rusman serta keluarga Wayan Mudia.

“Total ada tiga kepala keluarga dengan tujuh orang tinggal di tenda ini,” ujar Ketut Bulat saat ditemui Tribun Bali, Rabu (22/5/2019).
Diceritakan, leluhur Ketut Bulat berasal dari Dusun Penaga, Desa Yangapi, Tembuku.
Tahun 1959 silam, ayahnya memutuskan merantau ke wilayah Desa Bonyoh untuk mencari lahan pertanian.
Baca: Tanggapi Ambulans Berlogo Gerindra Berisi Batu, Fadli Zon: Bisa-bisa Cuma Settingan
Baca: Banyak Peluang tapi Gagal Cetak Gol, Teco: Peluang Harus Lebih Akurat
Namun setelah 60 tahun tinggal di perantauan, Ketut Bulat dan dua KK lain akhirnya memutuskan kembali ke tanah leluhurnya.
Mereka pindah karena aturan di Desa Bonyoh yang hanya memperbolehkan anak terakhir bisa menempati tanah pekarangan desa adat.
Atas hal tersebut, ia pun sekeluarga memutuskan untuk kembali ke tanah leluhurnya.
Untuk membangun rumah, mereka tak punya uang.
“Di sana kami menempati tanah pekarangan desa. Sesuai dengan adat di sana (Desa Bonyoh), hanya anak terakhir yang boleh menempati pekarangan desa adat. Dalam hal ini adik saya, Wayan Sutama. Saya sejak dulu tinggal di sana, tidak paham aturan itu. Saya juga tidak punya masalah apa pun. Namun karena sudah merupakan aturan, saya dan keluarga memutuskan kembali ke (Dusun) Penaga,” jelasnya.

Sudah 1,5 bulan Ketut Bulat bersama dua KK lainnya pindah ke Dusun Penaga.
Terpal yang kini dijadikan sebagai hunian berupa kamar, itupun juga pemberian dari kerabatnya.
Mau tidak mau, segala keadaan harus dia terima.
Seperti saat siang hari yang terasa sangat panas di dalam tenda.
Baca: 3 VPN Android Terbaik, Bisa Akses Medsos Termasuk WhatsApp Yang Terganggu Pasca Aksi 22 Mei
Baca: Parkir Elektronik Pasar Badung Ngadat, Pengunjung Tak Dapat Karcis Parkir
“Karena keadaan, terpaksa kami tinggal bertujuh dalam satu ruangan. Begitupun saat hujan. Airnya sempat masuk ke dalam,” ujar pria 48 tahun ini.
Keluarga lainnya bernama Wayan Sutama menambahkan, semula dirinya juga ikut tinggal di Desa Bonyoh.
Lantaran merasa pendapatan tidak mencukupi dengan empat KK di satu pekarangan, ia bersama sang istri memutuskan pindah ke Dusun Penaga.

“Sehari-hari kami maburuh. Rata-rata barang yang ada di sini, seperti kayu, itu dapat minta ain. Untuk mendirikan bangunan dari kayu, saya membutuhkan waktu sampai satu tahun,” bebernya.
Tanah yang kini ditempati oleh empat KK atau 10 orang ini, kata Sutama juga merupakan tanah desa adat.
Sebab itu, ia bersama kerabat yang lain diberi kewajiban yakni membayar pajak pada desa adat dengan hitungan dua kilogram beras per are tiap tahun.
Baca: TRIBUN WIKI - 5 Fakta Tentang Museum Bung Karno di Denpasar
Baca: Ganjar Pranowo Sebut Ada Sosok Sengkuni Yang Mengendalikan Perusuh di Aksi 21-22 Mei
“Total lahan di ini luasnya 76 are, dan tiap tahunnya harus ada. Kalau di adat itu hitungannya berupa beras, namun pembayaran berupa uang sesuai dengan harga beras yakni Rp 12 ribu per kilogram. Di samping itu kami juga diwajibkan untuk bersih-bersih di pura-pura desa,” ucapnya.
Hunian Sangat Tidak Layak
Kelian Dusun Penaga, I Nengah Rijasa, membenarkan terkait apa yang terjadi pada keluarga tersebut.
Ujarnya, saat kembali ke Dusun Penaga, tiga KK itu tidak membawa apapun.
Sebagai kadus, ia mengaku sudah mengajukan usulan bantuan untuk bedah rumah.
Usulan itu diyakini ada celah bisa diterima oleh pemerintah kabupaten, hanya saja pada APBD Perubahan 2019.
“Anggaran perubahan itu membutuhkan waktu empat hingga lima bulan ke depan. Kami khawatir jika semakin lama, terpal yang kini digunakan semakin tidak layak. Dan itu berdampak pada kesehatan penghuninya. Harapan kami agar secepatnya mendapat bantuan, mengingat kondisi huniannya sangat tidak layak,” tandasnya. (*)