Petunjuk Niskala Tapakan Pura Dalem Selaungan Bangli, Krama Dilarang Ambil Dokumentasi Tapakan
apabila saat upacara diketahui ada yang mengambil foto, seketika ada orang lain yang kerauhan dan langsung beringas
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Ada tradisi unik di Pura Dalem Gede Selaungan, Banjar Pande, Kelurahan Cempaga Bangli.
Krama tak diperbolehkan mengambil dokumentasi dalam bentuk apa pun.
Larangan ini bukan aturan banjar, melainkan petunjuk niskala tapakan.
“Hanya saja, orang lain seperti turis yang terkadang mencari foto untuk kenang-kenangan. Dalam hal ini, terlebih dahulu mereka diingatkan oleh pecalang. Selain itu, apabila saat upacara diketahui ada yang mengambil foto, seketika ada orang lain yang kerauhan dan langsung beringas. Secara kode etik, ini artinya larangan,” tutur Mangku Suryawan, Jero Mangku Pura Dalem Gede Selaungan, Rabu (29/5/2019).
Larangan pengambilan dokumentasi juga diartikan agar krama lebih fokus melakukan persembahyangan serta tidak memikirkan hal lain.
Bhatara Lingsir yang merupakan sesuhunan Pura Dalem Gede Selaungan diyakini telah berusia ratusan tahun.
Berwujud barong macan dan masih memiliki hubungan dengan Bhatara di Pura Pucak Pandakan di Kelurahan Kubu, Bangli. Hubungan ini tidak terlepas sejarah pembuatan parerai (tapel) Bhatara Lingsir.
Sesuai cerita leluhur, parerai berwujud barong macan itu berbahan kayu jepun yang tumbuh di areal Pura Pucak Pandakan.
Meski demikian, usai dibuat menjadi sebuah tapel barong macan belum disakralkan seperti saat ini.
“Dulunya (sebelum disakralkan) barong ini kerap dipinjam hingga wilayah Tembuku, untuk digunakan ngelawang dalam serangkaian hari raya Galungan. Setelah selesai digunakan ngelawang, dikembalikan ke Pura Dalem dengan diberi uang kepeng pada bagian ekor sebagai kompensasi,” ujarnya.
Sejatinya ada sebuah barong lain setelah pembuatan barong macan.
Namun barong yang tergolong baru dan menjadi pengganti untuk ngelawang, justru lebih cepat rusak dimakan rayap.
Akhirnya oleh sekaa klentangan kuna (sekaa angklung tradisi) kembali menggunakan barong yang lama.
Tradisi Bhatara Lingsir rauh ke Pura Pucak Pandakan sudah berlangsung sejak dulu, bahkan sebelum disakralkan seperti saat ini. Yang menjadi perbedaan, rauhnya Bhatara lingsir tidak direncanakan seperti saat ini.
“Kalau dulu saat ngelawang di hari raya Galungan, sampai di pertigaan bukit di patung pendeta, barong ini sudah kerauhan dan lari ke Kubu hingga diikuti oleh seluruh sekaa. Kalau dulu rauhnya tidak direncanakan. Besar kemungkinan, keinginan untuk ke Kubu karena keinginan dari yang roh yang berstana di barong ini sehingga seperti sebuah magnet yang saling menarik,” ucapnya.
