Putu Setia Menjarit Tragedi Dukana Masa Lalu dalam Lentera Batukaru
Kisah ini diawali dengan seorang politisi bercelana pendek yang menuliskan kisah getir dari I Wayan Sunawa yang merupakan keponakannya sendir
Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
"Ada poin yang ingin saya tawarkan, yakni politik masa lalu agar jadi pelajaran sehingga di masa depan bisa dilupakan. Mari nyalakan lentera untuk menerangi kegelapan masa lalu," katanya.
Buku ini dibahas oleh dua orang narasumber yakni jurnalis senior Bali, Widminarko, dan budayawan Bali Wayan Westa.
Westa memaparkan, buku ini bercerita tentang tragedi pasca 1965 yang merupakan memorabilia kisah kekerasan yang meinmpa keluarga kecil di lereng Batukaru.
"Putu Setia hadir di masa kecil, melihat dan mengalami langsung, sang penulis ikut mewarnai pergerakan dimana ia ditunjuk jadi ketua pemuda," kata Westa.
Penulisan novel ini juga ringan, detail, tak bertele-tele, sehingga pembaca akan merasa seperti diputarkan film masa lalu yang dihadirkan untuk penonton hari ini.
Baca: 6 Pantai Yang Indah Ini Bisa Dikunjungi Saat Libur Lebaran di Banyuwangi
Baca: Badung Puncaki Klasemen, Perolehan Medali Sementara Porjar Bali 2019
Ceritanya juga blak-blakan dan tak mungkin bisa dibaca saat Orde Baru.
"Dan orang Desa Pamalai menyebut PKI di kerumunan, kini mereka dibuat takut membicarakan tragedi 1965 itu," katanya.
Namun ada pertanyaan yang muncul dalam benak Westa, kenapa kisah ini baru ditulis setelah 53 tahun peristiwa tersebut berlalu.
Westa juga menyebut, Putu Setia menuliskan kisah ini hampir tanpa emosi.
Meskipun kisah yang ditulis sangat dekat dengan keluarga yang kena garis, dicap PKI, dibunuh, digotong dan dilempar ke truk atau dibuang entah dimana.
"Cerita-cerita dalam Lentera Batukara dijarit dari tragedi dukana, dimana kematian ditentukan oleh yang berkuasa, politik dan pertarungan ideologi jadi pemicu, seperti kisah Nyoman Mastra dalam kisah anjing menggonggong dini hari," kata Westa.
Noda-doda PKI bisa datang dari siapa saja termasuk hanya menjadi buruh upahan mereka yang ikut PKI.
Dalam pembacaan Lentera Batukaru, Westa juga teringat tentang lontar Bongkol Pengasrian yang menjabarkan tingkahing adiksa, dimana lapisan kulit, ego harus dilepas hingga sang diksa dilekati wangsa pandita dewata atau supaya sang wiku dirasuki rasa kewikuan.
Baca: Petenis Badung, Desak Made Dwi Krisna Suryani Lolos ke Final Porsenijar Bali 2019
Baca: Marko Simic & Pemain Persija Jakarta Tegaskan Butuh Kerja Keras Menghadapi Seorang Coach Teco
"Mungkin inilah ziarah melepas itu yang dilakukan Putu Setia, termasuk melepas pengalaman kelam dalam kehidupan. Cerita sekelam apapun sebaiknya ditulis dan tidak bertujuan memperkeruh, supaya persitiwa kelam tidak terulang kembali di masa depan," katanya.
Sementara Widminarko mengisahkan tentang pertemuannya dengn Putu Setia di tahun 1966.