44 Ibu Hamil di Jembrana Positif HIV-AIDS, Penyebabnya Prilaku Seks Tidak Sehat Sebelum Hamil

44 Ibu Hamil di Jembrana Positif HIV-AIDS, Penyebabnya Prilaku Seks Tidak Sehat Sebelum Hamil

Penulis: I Made Ardhiangga Ismayana | Editor: Aloisius H Manggol
boldsky.com
Ilustrasi hamil 

TRIBUN-BALI.COM, NEGARA- Selama tiga tahun terakhir sejak pertengahan 2016 lalu, Dinas Kesehatan Kabupaten Jembrana mendata ada sekitar 44 ibu hamil terjangkit HIV.

44 ibu hamil terdeteksi HIV setelah melakukan tes kesehatan di Klinik VCT (tes HIV) di seluruh Puskesmas dan RSU Negara.

Tes memang diwajibkan untuk menghindarkan penyakit turunan terhadap bayi yang dikandung sang Ibu.

Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jembrana, dr Putu Suasata menyatakan, tes itu sesuai dengan surat edaran Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI untuk upaya menganggulangi penyebaran HIV.

Terutama kepada jabang bayi atau anak yang baru lahir.

Sehingga, deteksi dini dilakukan dengan tes, dan ditemukan 44 ibu hamil terjangkit HIV.

"Itulah kenapa Kemenkes melakukan kebijakan supaya diadakan tes terhadap ibu hamil yang wajib seperti tes HIV, sipilis sama hepatitis," ucapnya.

Menurut Suasta, langkah Kemenkes itu didasari, dan merujuk ke ketiga penyakit itu, karena ketiga penyakit itu berpeluang besar, untuk terjadinya penularan antara Ibu dan bayi.

Baik sejak dalam kandungan atau pun ketika sudah lahir.

"Jadi menularnya itu kan ketika melalui proses kelahiran. Kan begitu," imbuhnya.

Oleh karena itu, sambung dia, maka dilakukan screening wajib bagi Ibu Hamil, supaya bisa menyelamatkan bayi.

Sebab, ibu yang melahirkan itu ketika terkena atau terjangkit HIV, belum tentu tahu, bahwa dirinya positif.

Walaupun sang Ibu, berprilaku sehat dalam berhububgan seks.

"Mungkin saja dia mendapat dari suami atau bukan suaminya. Itu entah kita juga tidak tahu, ya," ungkapnya.

Nah, dari pada banyak korban, entah suami, istri atau bahkan bayi.

Maka, ketika, Tim Medis mendapatkan pasien Ibu Hamil, maka akan ditangani melalui program Pencegahan Transmisi HIV (PTV) dari ibu ke bayi.

Dengan begitu, maka si Ibu akan diberikan obat HRV.

Obat HRV dalam penanganan ibu bayi memang, ada perbedaan dengan pasien biasa. Hanya beda sedikit dalam penanganannya.

"Intinya begitu positif, sebelum kondisinya turun, atau sebelum terjangkit infeksi oportunistik, maka dia (Ibu) diberikan HRV," tegas Suasta.

Pemberian HRV, dengan tujuan supaya kadar virus HIV rendah.

Sebab, ketika kadar virusnya rendah, maka daya tahan tubuhnya akan naik.

Sehingga si ibu tidak jatuh dalam kondisi AIDS.

"Kan itu tujuan dari HRV. Nah, pada ibu hamil supaya tidak menularkan virus, harus diberi HRV. Dengan turunnya kadar virus, resiko penularan pada bayi rendah juga," imbuh Suasta lagi.

Lebih jauh dijelaskannya, bahwa dalam penanganan kelahiran pun, si bayi harus dilahirkan melalui cesar.

Jadi tidak bisa lahir melalui jalan lahir biasa atau normal.

Itu dilakukan, untuk mempercepat pengeluaran, dan mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi saat terjadinya proses kelahiran yang kemungkinan ada pendarahan atau sebagainya.

"Nah dengan itu, si bayi juga tidak diberikan ASI (Air Susu Ibu). Jadi tidak boleh minum air susu ibu, karena memang mengandung virus. kemudian selama dua tahun, bayi akan diawasi dan dicek," jelasnya.

Selama dua tahun, ketika bayi dicek negatif, maka itu dapat dipastikan bayi bebas HIV.

Singkatnya, bebas dari yang memungkinkan tertular dari ibunya.

Sehingga, ketika tidak melalui proses pengecekan darah ibu hamil, maka petugas terkait, tidak bisa mengintervensi dengan memberikan HRV untuk menurunkan kadar virus.

"Kami juga tidak bisa melakukan pertolongan melalui cesar. Tentu saja akan menimbulkan resiko besar pada bayi," tegasnya lagi.

Suasta menambahkan, bahwa penularan HIV pada Ibu bayi, itu besar terjadi karena tertular partner seksnya.

Partener seks pun tidak bisa dihakimi itu adalah suami.

Bisa jadi prilaku seks tidak sehat oleh Ibu bayi, saat sebelum menikah.

Singkatnya, bisa saja positif sebelum menikah ketika sama pacar atau bergonta-ganti pasangan.

"Jadi kami tidak bisa menghakimi. Yang pasti melalui partner seksnya sebelum dia hamil," tegasnya.

Yang kedua, lanjutnya, Ibu bayi, bisa jadi pencandu narkotika, karena jarum suntik yang tidak steril.

Kemudian karena tatto.

Karena ditatto dengan jarum yang tidak steril pula.

Namun, semua itu masalah kecil.

Yang paling besar itu memang melakukan seks tidak sehat.

Si Ibu memiliki pasangan yang terjangkit HIV dan menularkan kepadanya.

"Kami melakukan konseling wawancara dan tes darah dengan sukarela. Dan itu dilakukan di Klinik VCT," ujarnya.

Konseling ini juga, kata Suasta, tidak bisa di Rumah Sakit Swasta.

Rumah sakit se Kabupaten Jembrana, tidak boleh mengecek tanpa konseling.

Karena banyak akibatnya.

Seperti depresi, bunuh diri, atau balas dendam menularkan. Jadi memang perlu adanya konseling.

Nah, di Kabupaten Jembrana, Dinas Kesehatan memperluas klinik VCT hingga di 14 fasilitas kesehatan (faskes) terutama Puskesmas dan RSU Negara.

Ditambah satu konselor yang ditempatkan khusus di Rutan kelas IIB Negara.

Dari data yang dihimpun di Dinas Kesehatan selama kurun waktu 2005-2019 bulan Juni ini ada 1002 orang pengidap HIV/AIDS.

Dari jumlah itu, yang diketahui masih hidup 500 orang. Dan hampir 400 orang meminum obat dan diawasi.

Sedangkan yang 100 orang lagi belum ditemukan.

Terungkap fakta bahwa ada tren meningkat orang yang mengidap setiap tahunnya.

Pada tiga tahun terakhir sejak pemerintah pusat mewajibkan ibu hamil untuk melakukan tes screening, salah satunya HIV, diketahui ada 44 ibu hamil yang positif.

Namun dari jumlah tersebut, bayi yang lahir berhasil diselamatkan dan negatif HIV. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved