Babak Baru Kasus Alit Wiraputra, Ada Pertemuan Antara Mangku Pastika, Sandoz, Sutrisno, dan Candra
Babak Baru Kasus Alit Wiraputra, Ada Pertemuan Antara Mangku Pastika, Sandoz, Sutrisno, dan Candra
Penulis: Putu Candra | Editor: Aloisius H Manggol
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sidang perkara dugaan penipuan dan penggelapan pengurusan izin pengembangan, pembangunan kawasan Pelabuhan Benoa dengan terdakwa AA Ngurah Alit Wiraputra (50) kembali bergulir.
Kali ini, Kamis (15/7/2019) sidang mengagendakan pemeriksaan keterangan tiga saksi.
Ketiga saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar adalah korban, Sutrisno Lukito Disastro, Made Jayantara dan Candra Wijaya.
• Pak Kades Liburan ke Bali bareng Wanita, Setelah Video Perkelahian Istri Kedua dan Ketiga Viral
Sutrisno saksi pertama yang didengar keterangannya di muka persidangan.
Di hadapan majelis hakim pimpinan Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi, Sutrisno menjelaskan, percaya dengan terdakwa Alit karena sebagai orang kepercayaan sekaligus mengaku anak angkat mantan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.
"Saat pertemuan, terdakwa menyatakan orang kepercayaan gubernur, dan mengatakan sebagai anak angkatnya. Saya juga pernah dibawa ke Pak Alit (terdakwa) ke kantor putranya gubernur. Namanya sandoz. Di kantor HIPMI. Di sana saya diyakinkan izin akan diurus," ujar Sutrisno.
• Sosok Wanita Berambut Pendek Datangi Tiga Warga Buleleng Lewat Mimpi, Warga Lainnya Ketakutan
Dalam pertemuan dengan Sandoz itu, terungkap jika Sandoz juga berusaha meyakinkan bahwa izin akan keluar.
Selain itu, dalam pertemuan antara Sutrisno dengan Alit dan Sandoz, juga diikuti Candra Wijaya, pria yang bertugas sebagai Direktur Utama di PT Graha Cemerlang, perusahaan Sutrisno.
Candra juga menerima aliran dana dari Alit.
• Dipolisikan Pablo Benua, Hotman Paris: Tenang Aja, Saya Selalu Pakai Otak
Candra pula yang mengatakan pada Sutrisno, bahwa perlu biaya operasional untuk pengurusan izin.
Biaya itu diperlukan untuk rapat di Pemda dan DPRD Bali.
Sutrisno menyebut dirinya sebagai pemilik PT Graha Cemerlang juga membeli PT Bangun Segitiga Mas (BSM).
• Cemburu pada Istri Tua, Istri Muda di Kintamani Nekat Lakukan ini, Berawal dari Dering Telepon
PT BSM disebut Sutrisno sebagai perusahaan nonaktif milik Candra.
PT BSM dibeli dengan tujuan untuk membantu melancarkan pembangunan nantinya.
Akta perusahaan diubah menjadi kontraktor developer.
Jika proyek perluasan Pelabuhan Benoa ini berhasil, terdakwa Alit akan diberikan saham 15 persen atau senilai Rp 50 miliar di dalam PT BSM.
Tidak hanya itu, dikatakan Sutrisno dirinya juga diajak oleh Alit untuk bertemu gubernur (Mangku Pastika).
"Saat itu yang bertemu gubernur, Saya, Alit, Candra Wijaya dan ada juga Sandoz. Intinya untuk meyakinkan saya bahwa terdakwa adalah orang dekat gubernur," ungkapnya.
Namun Sutrisno mengaku lupa apa yang dibicarakan saat pertemuan ini.
"Saya lupa. Yang jelas ramah tamah. Seingat saya pertemuan selama 2 jam," ucapnya.
Karena telah percaya terhadap Alit untuk mengurus segala perizinan, kemudian dilakukan penandatanganan surat kesepakatan saling pengertian tentang kerjasama tanggal 26 Januari 2012.
Ditandatangani oleh Sutrisno sebagai pihak pemberi dana dalam pengurusan izin.
Sedangkan terdakwa Alit sebagai orang yang mengurus izin-izin proyek pengembangan dan pembangunan kawasan pelabuhan Benoa.
"Saya sudah sangat percaya dan saya sudah mengeluarkan uang. Saya percaya, karena dia (Alit) orang kepercayaan dan anak angkat gubernur. Saya juga diajak langsung ke rumah pak gubernur," jelasnya.
Lebih lanjut, Sutrisno mengirimkan uang tahap pertama Rp 6 miliar, diserahkan secara cash berupa valuta asing, sebesar USD 6.000.
Hakim Made Pasek lalu menanyakan ke Sutrisno, siapa pihak yang berinisiatif mempertemukannya dengan gubernur.
"Atas inisiatif siapa ketemu gubernur," tanya Hakim Anggota, Made Pasek.
"Atas inisiatif dia (sambil menunjuk ke arah Alit)," jawab Sutrisno.
Di sisi lain Jaksa Gede Raka Arimbawa menanyakan kapan saksi dan terdakwa membuat kesepakatan saling percaya pengurusan izin.
Sutrisno menyebut kesepakatan yang dinamakan saling pengertian itu ditandatangani pada Februari 2012.
Kesepakatan itu dibuat untuk pegangan Sutrisno jika terjadi sesuatu.
Tapi, kesepakatan itu dibuat di bawah tangan.
Bukan di meja notaris.
Sutrisno mengaku pernah bertemu Cok Rat, mantan Ketua DPRD Bali untuk meminta dukungan proyek.
Cok Rat yang saat itu menjabat Ketua DPRD Bali mengaku mendukung rencana Sutrisno.
"Saya kenal dengan Ketua DPRD Bali (Cok Rat) karena kenal pribadi. Bukan karena Pak Alit," ujarnya.
Ditanya surat rekomendasi dari Bappeda yang sudah turun, Sutrisno menyangkalnya.
"Saya tidak tahu ada rekomendasi surat dari Bappeda. Setahu saya surat itu fotokopi, tidak pernah ada aslinya. Saya sudah pernah cek ke Bappeda, tidak ada," bantahnya.
"Saya ditunjukkan rekomendasi fotokopian itu setelah dipanggil penyidik Polda Bali,” imbuh Sutrisno.
Kemudian selama tenggang waktu enam bulan pengurusan izin sebagaimana tertuang dalam surat perjanjian, Alit tidak juga menyelesaikan pekerjaannya.
"Pak Alit menghindar. Dia janji-janji terus. Saya pernah beberapa kali bertemu dengan terdakwa. Pernah di Jakarta, tapi dia bilang masih bertemu dgn menteri. Ada somasi 2 kali. Karena tidak ada penyelesaian saya laporkan," tutur Sutrisno.
Sementara Made Jayantara dalam keterangannya mengaku sangat kecewa dengan Alit.
Karena dirinya lah yang merekomendasikan Alit kepada Candra Wijaya dan Sutrisno untuk mengurus perijinan.
Tidak hanya kecewa, Jayantara juga merasa ditipu oleh Alit.
"Alit ini sudah seperti adik saya. Saya yang merekomendasikan Alit ke insvestor untuk mengerjakan pengurusan," ucap Jayantara.
"Saya marah saat tahu kasus ini. Saya kontak Alit dan saya bilang, setan kamu Alit, kembalikan uang orang. Dia minta saya menyampaikan ke Pak Sutrisno, tapi dia bilang menyelesaian (pengembalian uang). Saya masih ada bukti chatnya," imbuh Jayantara.
Jayantara sendiri bertugas membuat draf perjanjian dan isinya berdasarkan kesepakatan para pihak.
Diakui Jayantara, dirinya juga menerima uang dari Alit.
"Saya dikasi uang sama Alit Rp 1,1 miliar. Katanya uang itu dari Pak Sutrisno. Lalu saya dikasi cek oleh Alit, tapi tandatangannya beda. Saya tanya kenapa tandatangannya beda. Alit bilang dia punya dua tandatangan," ungkapnya.
Karena merasa ada yang janggal, Jayantara lalu mengembalikan uang yang diterima dari Alit ke Candra Wijaya sebelum adanya laporan.
"Saya kembalikan uang dan dua lembar cek itu ke Candra Wijaya. Saya bertemu Pak Sutrisno dan mengatakan apakah uangnya sudah diterima. Pak sutrisno bilang belum. Saya bilang ke Pak Sutrisno, saya kembalikan karena ada kejanggalan. Saya bilang tandatangan Alit di cek dan surat berbeda," terangnya.
"Saya mengembalikan Rp 2,5 miliar. Saya rugi. Tapi Pak Sutrisno bilang kalau lebih nanti dikembalikan. Saya kembalikan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Saya juga sudah suruh Alit untuk mengembalikan uangnya, tapi dia bilang iya-iya saja," lanjutnya.
Ditemui usai sidang Alit menyatakan dari keterangan Sutrisno dan Jayantara banyak yang ditutupi.
Di sisi lain, mengenai keterangan saksi Candra Wijaya, dirinya mengatakan sebagian besar benar.
"Dari keterangan Sutrisno dan Jayantara banyak yang ditutupi. Perlu diungkap lagi ada beberapa penerima uang itu dan pembagian tugas. Sebelum ada penandatangan itu, ada pembagian tugas antara Jayantara, Saya, Sandoz dan Candra Wijaya. Pembagian tugas itu atas kesepakatan bersama. Dari pembagian tugas itu lah dapat dananya," terangnya.
Yang krusial dalam pembagian tugas kata Alit adanya bagian dana diminta.
Dana yang diminta terkait tugas masing-masing.
"Terakhir itu memang mereka kaburkan. terus terang, Jayantara beralasan telah mengembalikan Rp 2,5 miliar. Dia sebenarnya menerima Rp 2,6 miliar. Dia berbohong. Pak Candra juga menerima Rp 3 miliar. Dari saya Rp 1 miliar masuk ke rekeningnya, dan Rp 2 miliar dicairkan staf beliau, namanya Ketut Mardana," ungkapnya.
"Jadi setiap dana cair, Sandoz, Jayantara dan Candra Wijaya minta cek dari saya. Mereka tahu semua proses dana masuk dan pencairan. Dari dana awal Rp 6 miliar itu, Sandoz menerima Rp 2,5 miliar, Candra Wijaya menerima Rp 1 miliar dan Jayantara Rp 1,1 miliar. Itu (dana) cuma untuk bertemu gubernur. Sisanya di saya untuk operasional. Tahap kedua, Sandoz menerima Rp 5 miliar, Candra Wijaya Rp 2 miliar, Jayantara Rp 1,5 miliar," urai Alit.
Ditanya terkait keterangan Jayantara di persidangan yang mengatakan tidak mengenal sandoz dan baru kenal setelah dikenalkan dirinya.
Alit tegas membantah.
"Tidak mungkin. Sandoz itu juniornya. Jayantara ketua HIPMI tahun 1990-1993, Sandoz ketua umum tahun 2010-2013. Korelasi dengan organisasi masak tidak ketemu. HIPMI itu punya tradisi, calon ketua umum harus ketemu senior dulu. Pasti kenal," ucapnya.
Ditanya apakah dalam pertemuan Sutrisno, Mangku Pastika, Jayantara, Sandoz dan dirinya membahas terkait izin.
Alit mengiyakan adanya pembahasan itu ke gubernur.
"Kita bicarakan, bahwa PT Bangun Segitiga Mas akan membangun ini dan ini. Dan Pak Sutrisno sendiri yang menanyakan ke gubernur. Itu dibahas. Pak gubernur bilang, silakan diajukan," beber Alit.
Mengenai draf, awalnya dalam draf memakai nama Sandoz kemudian diganti menjadi namanya?
Alit mengatakan, bahwa yang mengusulkan dan meminta adalah Jayantara sendiri.
"Bukan saya minta. Pak Jayantara yang mengusulkan. Dan semua draf itu sudah dibuat sebelum pertemuan. Draf itu dibuat 19 November sementara pertemuan kita tanggal 23 dan 26 November. Di draf awal Sandoz sebagai pihak. Karena beliau bilang putra gubernur ke Made Jayantara akhirnya Pak Jayantara meminta saya," jelasnya.
"Saya sudah tidak mau. Dari November sampai Januari saya berpikir. Tapi didesak terus oleh mereka agar saya menandatangani. Kalau saya tidak tanda tangan proyek itu tidak bisa dijalankan. Saya sudah menghindar tiga bulan lebih," lanjut Alit.
Untuk itu, agar perkara ini terang benderang Alit mengusulkan beberapa orang harus diperiksa.
Dalam perkara ini dirinya merasa dijebak.
"Kami usulkan ada beberapa orang yang harus diperiksa agar terang benderang. Saya pasti (merasa dijebak). Kalau fair, ketiga orang yang menerima uang itu turut serta. Mereka menerima uang, ada pembagian tugas. Kenapa mereka tidak diikutsertakan. Ini ketidakadilan dan saya dikorbankan. Mengenai laporan saya, krimsus harus didorong. Uang yang saya berikan ke mereka kemana saja," tegasnya. (*)