Kongres V PDIP di Bali
Ini Sejarah Dibalik Dedication of Life, 'Mengabdi Kepada Tuhan, Kepada Tanah Air'
Bung Karno menulis Dedication of Life sebagai bentuk komitmennya dalam mengabdi kepada Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air.
Penulis: Ragil Armando | Editor: Rizki Laelani
Pada 10 September itu ia menuliskan semacam wasiat yang dikemudian hari dikenal dengan nama Dedication of Life.
Bagi Soekarno, hidupnya adalah pengabdian. Sebenarnya, sebelum-belumnya dilansir dari historia.id, Bung Karno sudah sering mengatakan kalimat serupa. Misalnya dalam pidato di hadapan mahasiswa Universitas Gajah Mada di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta pada 1961, atau saat melepas kontingen Indonesia yang akan berjuang di Asian Games IV Jakarta pada 1962.
Ia mengulang lagi pada pembukaan musyawarah nasional Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) pada 1965.
“Saya pernah pidato terhadap olahragawan-olahragawan sebelum ada Asian Games, saya katakan: hai, engkau olahragawan-olahragawani, aku minta kepadamu agar kamu jangan ingat kepada diri sendiri saja, mencari medali untuk diri sendiri saja, tetapi carilah medali untuk bangsa Indonesia, untuk negara Indonesia. Saya minta kepadamu –kataku kepada olahragawan– agar supaya engkau mempunyai dedication of life– dedication itu artinya penyumbangan, pengabdian, life artinya hidup– hidupmu itu kau sumbangkan, kau abdikan.”
Sementara dalam pidato pada acara pemberian gelar doktor honoris causa dalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan dari Universitas Indonesia pada 2 Februari 1963, Soekarno menyatakan, “Saya dedicate saya punya hidup, I dedicate my life to what? To my country. To what? To my idealism. To what? To God, Allah Subhanahu Wataala.”
Beberapa pidato Soekarno yang menyinggung dedication of life mempunyai substansi sama: mengajak rakyat melakukan pengabdian kepada bangsa, kepada negara.
Sehari setelah ia menuliskan wasiat yang disusunnya sebagai surat kepada kawan itu, pada 11 September 1966, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia dari Bandung dan Jakarta, mengajukan tuntutan agar Bung Karno diadili di depan Mahkamah Militer Luar Biasa.
Bung Karno menjawab dengan sedih pada 13 September, ketika berpidato di hadapan kaum Angkatan 1945 di Istana Merdeka.
Mereka yang hadir antara lain Sukarni, Bung Tomo, dan SK Trimurti.
Selain menolak tekanan massa jalanan dan MPRS untuk membubarkan komunis, karena menurut Bung Karno isme tidak bisa dilarang.
Ia juga mengeluhkan tekanan imperialisme asing dan elemen kontra revolusi dalam negeri yang memfitnahnya tiap hari melalui media massa.
Saat itu hanya media di bawah tentara yang masih boleh terbit. “Dikatakan aku tidak Pancasila, oleh karena Marxis. La illahaillah!” seru Bung Karno saat itu.
Berikut isi dari dedication of life tersebut:
Saya adalah manusia biasa / Saya tidak sempurna / Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan / Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa / Itulah dedication of life-ku / Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku / Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa / Akan tetapi, dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat. (Sukarno, 10 September 1966). (*)