Wiki Bali
TRIBUN WIKI: Mengenal Putu Wijaya, Sastrawan Bali yang Serba Bisa
Putu merupakan bungsu dari lima bersaudara yang merupakan putra dari I Gusti Ngurah Raka dan ibunya Mekel Ermawati.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bali punya banyak penulis hebat dan terkenal serta berprestasi.
Salah satunya adalah Putu Wijaya yang kini menetap di Jakarta.
Putu Wijaya bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom Tabanan 11 April 1944.
Putu merupakan bungsu dari lima bersaudara yang merupakan putra dari I Gusti Ngurah Raka dan ibunya Mekel Ermawati.
Kegemarannya menulis telah dimulai sejak SMP dan kini ia menjadi penulis yang sangat produktif.
Dari tangannya lahir puluhan novel, naskah drama, ribuan cerpen, ratusan esai, kritik drama dan artikel lepas.
Selain menulis, ia juga pendiri dan pemimpin Teater Mandiri yang kemudian mementaskan naskah-naskah yang ditulis Putu Wijaya Sendiri.
Putu juga seorang dramawan, sutradara dan menggunakan konsep bertolak dari yang ada.
Berbagai penghargaan telah ia peroleh yakni tiga kali meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali, pemenang penulisan novel IKAPI, pemenang penulisan drama BPTNI, tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ, empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ, SEA Write Award 1980 di Bangkok, penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992), dan penghargaan lainnya.
Karyanya sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa yaitu bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab, dan Thailand.
Dalam acara seabad Kongres Kebudayaan Nasional yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Desember 2019 lalu ia mendapat penghargaan yang diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi bersama tiga orang budayawan lain yaitu D. Zawawi Imron, Ismiyono, dan Hubertus Sadirin.
Putu hadir menggunakan kursi roda setelah terserang stroke tahun 2012 dan Jokowi berjongkok ketika menyalami Putu.
Walaupun dalam keadaan sakit, karyanya terus lahir.
Untuk menulis dia menggunakan handphone BlackBerry dan mengetik menggunakan jempol kanannya saja.
"Sehari setiap duduk saya selalu menulis. Saya bangun jam 3 pagi kadang jam 4 atau jam 5. Olahraga lalu menulis hanya dengan jempol ini saja," katanya saat diwawancarai saat mementaskan naskah JPRUTTdi Ksirarnawa tahun lalu.
"Kerja itu adalah istirahat kata Plato. Kerja itu bukan beban, kerja itu istirahat. Kalau kamu pekerja setiap kamu mendapat pekerjaan dan menjadi berarti itu membuat kamu istirahat. Kalau itu merupakan tugas maka pekerjaan itu akan jadi beban. Belum bekerja saja sudah lelah pikiran kita karena memikirkannya," katanya.
Ia duduk di atas kursi roda dan tangan kirinya tidak bisa digerakkan, namun semangatnya untuk berkarya masih sangat luar biasa.
"Ketika saya sakit saya meilihat sesuatu yang tidak saya lihat. Aku mendengar apa yang tidak kau katakan. Tuhan mungkin ingin menunjukkan sesuatu kepada saya," katanya.
Ia mengaku tidur kalau sudah mengantuk dan tidak pernah 'main-main' di tempat tidur saat siang.
Menurutnya kalau menulis sambil tiduran akan membuat mata cepat rusak.
Dulu sebelum sakit, sehari duduk dan mengetik dengan mesin tik, sehari ia bisa menulia hingga 40 halaman.
"Sekarang 1 sampai 2 cerpen atau dua bab untuk novel perhari juga bisa satu naskah drama," katanya.
Putu tinggal di Bali sampai umur 18 tahun dan kini ia menetap di Jakarta sembari menulis dan memimpin Teater Mandiri.
Walaupun lama tinggal di luar Bali, tapi ia merasa menjadi orang Bali.
"Di Bali, rasanya terlalu jauh dengan Balu, dan baru keluar saya merasa jadi orang Bali, merasa di rumah ketika pergi, merasa dekat ketika jauh, dan merasa orang Indonesia saat di luar negeri," imbuhnya.
Ia menambahkan karena lahir di Bali maka akan "terkutuk" jadi orang Bali walaupun ia berada di luar Bali.
Putu juga mengatakan bahwa Bali bukan museum.
"Bali itu tradisional tapi modern, modern tapi tradisional. Karena Bali itu memiliki desa kala patra," katanya.
Dan jika Bali itu berubah menyesuailan diri bukan berarti Bali itu hilang, karena Bali masih memiliki falsafah Tri Hita Karana.
Beberapa kali ia menekankan, agar Bali jangan mau dianggap museum dan menurutnya perubahan itu biasa.
"Saya masih tetap dengan teror mental, bertolak dari yang ada. Saya ingin menggangu orang. Caranya menyiksa orang dengan berbagi pemikiran. Saya mengajak mereka terus berpikir," kata Putu. (*)