Akhir Kasus Penistaan di Petirtaan Monkey Forest, Desa Padangtegal Pilih Berdamai Demi Pariwisata
Meskipun kasus ini tidak akan dilanjutkan ke hukum, Sabina dan Jdanek tetap ingin segera pulang ke negaranya Republik Ceko.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Sorot mata Sabina Dolezalova dan Jdenek Slova tampak sayu, saat menghadiri mediasi dengan Kantor Migrasi Kelas I TP Denpasar, Polsek Ubud, Prajuru Desa Padangtegal, dan DPD RI, I Gusti Ngurah Arya Wedakarna, di sekretariat objek wisata Monkey Forest Ubud, Senin (12/8/2019).
Meskipun kasus ini tidak akan dilanjutkan ke hukum, Sabina dan Jdanek tetap ingin segera pulang ke negaranya Republik Ceko.
Sebab pihaknya mendapatkan ancaman pembunuhan dari oknum masyarakat melalui media sosial (medsos).
Namun demikian, mereka belum bisa pulang, paling tidak hingga tanggal 15 Agustus 2019 ini hingga Desa Pakraman Padangtegal menggelar upacara pecaruan dan Guru Piduka di pancuran Pura Beji Monkey Forest Padangtegal, tempat mereka melakukan tindakan tak terpuji.
• Setelah Dilecehkan 2 Bule, Petirtan di Monkey Forest Ubud Ditutup Untuk Wisatawan
Sebab pihak desa adat mengharuskan mereka menghadiri acara tersebut.
“Mereka sangat terpukul, dan takut karena mendapatkan ancaman pembunuhan,” ujar Staf Honorary Consulate Czech Republik, yang memdampingi kedua WNA tersebut.
Dalam acara tersebut, terungkap bahwa kedua WNA ini baru tinggal di Bali sejak 7 Agustus 2019.
Sementara video tersebut diambil 10 Agustus 2019.
Kedua WNA tersebut mengaku tak mengetahui bahwa perbuatannya tersebut dilarang secara agama Hindu.
Pada pelinggih tersebut terdapat tulisan ‘Dilarang Mencuci Kaki’.
Kedua WNA tersebut berasumsi larangan tersebut hanya untuk mencuci kaki, sementara untuk mencuci bagian tubuh lainnya diperbolehkan.
Selama berada di Bali, kedua WNA ini bekerja dalam status digital nomad atau bekerja dimana saja.
Bendesa Desa Pakraman Padangtegal, I Made Gandra mengatakan, kasus ini telah diselesaikan secara jalur kekeluargaan.
Kesepakatan damai ini telah dilakukan pada rapat, Minggu (11/8/2019) pukul 00.00 Wita hingga 01.00 Wita di kantor desa.
Rapat tersebut dihadiri Kantor Migrasi Denpasar, Polsek Ubud dan semua prajuru desa setempat.
“Kejadiannya terjadi tiga hari lalu di Pura Beji Padangtegal. Di sana sudah ada tulisan dilarang cuci kaki. Dalam sudut pandang kami, cuci kaki saja tidak boleh apalagi yang lain. Tapi mereka sudah minta maaf, dan Kertha Desa sudah memaafkan. (memafkan) ini semata-mata demi kebaikan objek pariwisata kami ke depan. Kami minta pihak terkait menutup permasalahan ini,” ujarnya.
Terkait biaya upakara, Gandra menegaskan pihaknya tidak ada menyinggung permasalahan tersebut.
Dalam hal ini, pihaknya akan menanggung sendiri biaya, tanpa sepeserpun meminta sumbangan pada kedua WNA ini.
“Kami tidak mau dikatakan, karena sudah dikasi uang untuk mecaru, sehingga mau berdamai. Kami tidak ingin dicap seperti itu, makanya semua keperluan untuk upacara ini, kami yang urus,” ujarnya.
Pantauan Tribun Bali, jalan masuk ke petirtan Pura Beji tersebut tertutup sejak Senin (12/8/2019) pukul 10.00 Wita.
Padahal sebelumnya, kawasan ini terbuka untuk turis.
Gandra menegaskan, penutupan itu dilakukan tidak terkait permasalahan ini.
“Tidak ada kaitannya dengan ini. Itu ditutup karena kami akan melakukan perbaikan jalan di sana,” tandasnya.
Kapolsek Ubud Kompol Nyoman Nuryana menghormati keputusan pihak desa adat.
Karena itu, pihaknya tidak melanjutkan permasalahan ini ke ranah penyelidikan.
“Intinya dari kami, kalau kondisi sudah kondusif, lancar dan nyaman, itu harapan kami. Kedua belah pihak telah menyepakati permasalahan ini secara damai, kami sangat mendukung,” ujarnya.
Hal serupa juga dikatakan Kepala Kantor Migrasi Kelas I TP Denpasar, Wisnu Widayat.
Pihaknya tidak melakukan penjegalan atau pengusiran kedua WNA ini dari Indonesia.
Hal tersebut lantaran kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah hukum.
“Dari segi keimigrasian, dalam UU Pasal 75 dinyatakan bahwa ini masuk tindak pidana umum, jadi imigrasi bisa bertindak. Namun karena sudah ada kesepakatan damai, kita dukung. Kalaupun nanti dilanjutkan (ke ranah hukum) kami siap untuk menindak,” ujarnya.
Anggota DPD RI, I Gusti Ngurah Arya Wedakarna mengatakan, sebelum tanggal 15 Agustus, kedua WNA ini belum boleh pulang ke negaranya, lantaran harus hadir dalam upacara pecaruan untuk penyucian Pura Beji.
Terkait ketakutannya terhadap ancaman pembunuhan, Wedakarna meminta mereka supaya tidak menyikapinya secara serius.
“Mereka wajib hadir di acara 15 Agustus. Kehadiran mereka secara fisik adalah mutlak. Meski tidak ada kewajiban untuk menanggung biaya upacara, tetapi saya memerintahkan, jika ingin medanapunia, boleh. Sebagai salah satu bentuk penghormatan pada simbol suci yang telah dicemari,” ujarnya. (*)