Kisah Hidup Kakak Beradik Yatim Piatu di Klungkung, Telusuri Sungai Cari Sayuran Liar Untuk Dijual
Kisah Hidup Kakak Beradik Yatim Piatu di Klungkung, Telusuri Sungai Cari Sayuran Liar Untuk Dijual
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Aloisius H Manggol
TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA- Kadek Suardana (15) dan I Komang Juniarta (13) sektika tersenyum, ketika rombongan Wabup Made Kasta datang kerumahnya yang sangat sederhana, di Dusun Payungan, Desa Selat, Klungkung, Selasa (24/9).
Dengan sopan, keduanya berinisiatif salim ke setiap orang yang datang ke rumahnya.
Sudah sedari kecil, keduanya harus hidup mandiri karena ditinggal kedua orang tuanya.
Sebelum berangkat sekolah, keduanya bahkan harus menelusuri sungai untuk mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar untuk dijual ke pasar.
Mendengar cerita kakak beradik tersebut, mata dari Wabup Made Kasta tampak berkaca-kaca. Ia jadi teringat, masa kecilnya yang juga tumbuh besar tanpa kasih sayang ayah dan ibu.
" Saya sangat merasakan apa yang mereka rasakan, karena saya juga dibesarkan tanpa kedua orang tua kandung. Semoga mereka tumbuh dan mampu meraih cita-citanya," ujar Made Kasta dengan mata berkaca-kaca, sembari marangkul Suardana dan Juniarta.
Kedua kakak baradik itu, lalu melangkah ke dapurnya yang sangat jauh dari kata sederhana. Dapurnya tidak memiliki dinding, sementara atapnya asbes yang tampak sudah usang. Keduanya lalu berusaha menghidupkan api, ditungku berbahan bata yang ditempel tanah liat.
Keduanya tampak sangat kompak, sang kakak Suardana
berusaha meniup-niup bara agar api di tungku hidup. Sementara sang adik, membantu dengan mengambilkan beberapa kayu bakar.
" Kadang-kadang kami memasak sebelum ke sekolah, dengan membuat mie instan," ungkapnya.
Sudah bertahun-tahun kakak beradik tersebut hidup dengan mandiri. Kedunya harus ditinggal orang tuanya disaat usianya masih sangat belia. Bahkan Kadek Suardana sama sekali tidak mengingat wajah ayah dan ibunya. Ayahnya, Wayan Astawa meninggal dunia karena sakit-sakitan ketika Kadek Suardana masih berusia 2 tahun. Bahkan saat itu Komang Juniarta belum genap berusia 6 bulan. Ayahnya sakit-sakitan, setelah beberapa kali terjatuh dari pohon kelapa dan sempat pula jatih dari pohon nangka. Ayahnya semasa hidup, memang mengais rezeki dengan menjadi buruh panjat.
Beberapa hari setelah Wayan Astawan dikubur, istrinya Ni Wayan Tini justru pergi dari rumah dan meninggalkan dua anaknya yang masih kecil. Keduanya pun dirawat oleh sang bibi, Ni Wayan Sadiari.
" Saya tidak ingat wajah ayah saya. Ibu pun tidak pernah lagi pulang ke rumah mencari kami," ungkap Kadek Suardana yang tampak sangat tegur dengan apa yang ia alami.
Seiring waktu berjalan, keduanya pun beranjak remaja. Kadek Suardana saat ini duduk di kelas IX SMP N 4 Klungkung. Sementara adiknya masih duduk di kelas VII dan juga bersekolah di SMP N 4 Klungkung. Perjuangan keduanya dalam melanjutkan sekolah sangat luar biasa. Keduanya sekolah dengan berjalan kaki sekitar pukul 11.00 Wita. Jarak rumahnya dengan sekolah, sekitar 500 meter, jika melewati jalan sungai dan persawahan. Mereka merasa sangat beruntung, ketika ada teman mereka yang menjemput untuk berangkat ke sekolah bersama-sama.Tidak seperti rekan-rekan sebayanya, keduanya tidak memiliki cukup uang untuk membeli kendaraan.
" Kadang-kadang ada teman yang menjemput," ungkap Suardana sembari tersenyum.
Sebelum bersekolah, keduanya selalu menyempatkan diri mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar di sungai seperti sayur pakis, kangkung, dan sayur singkong. Sayur itu lalu diberikan ke bibinya, Ni Wayan Sadiari untuk dijual di pasar keesokan harinya. Uang hasil penjualan sayur-sayuran yang tumbuh liar itu, lalu digunakan untuk bekal sekolah sehari-hari.