Simpang Ring Banjar

Warisan Gelungan Sakral Joged Gandrung Diupacarai Setiap Odalan Purnama Sasih Karo

Banjar Blanjong di Desa Sanur Kauh, Denpasar, Bali, memiliki warisan seni berupa tarian sakral yaitu Tari Joged Gandrung

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Wema Satyadinata
Prasasti Blanjong merupakan peninggalan berupa batu tulis yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Prasasti Blanjong telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya tingkat kota oleh Wali Kota Denpasar. Warisan Gelungan Sakral Joged Gandrung Diupacarai Setiap Odalan Purnama Sasih Karo 

Warisan Gelungan Sakral Joged Gandrung Diupacarai Setiap Odalan Purnama Sasih Karo

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Banjar Blanjong di Desa Sanur Kauh, Denpasar, Bali, memiliki warisan seni berupa tarian sakral yaitu Tari Joged Gandrung yang biasanya dipentaskan saat ada piodalan di banjar setempat. 

Gamelan dan gelungannya dipercaya sangat sakral.  

“Sampai sekarang yang masih kita warisi adalah gelungannya karena masih original dari dulu. Sedangkan tatakan gamelannya yang berbentuk singa sudah hilang. Dan sampai sekarang belum ditemukan sehingga diganti kain dengan singa yang lain,” terang Kepala Dusun Blanjong, I Nyoman Sumerdana.

Odalan di banjar dilaksanakan setiap satu tahun sekali yakni bertepatan dengan Purnama Sasih Karo.

Setiap odalan gelungannya pasti diturunkan untuk diupacarai.

Sekaa yang aktif di Banjar Blanjong antara lain Sekaa Gong, Sekaa Santi, Sekaa Teruna-teruni (STT) Putra Bahari, dan PKK.

Semuanya aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh desa.

Banjar Blanjong sudah ada sejak tahun 1926. Awalnya berbentuk sekaa.

Lambat laun karena perkembangan kewilayahan maka kemudian berbentuk banjar.

Adapun jumlah krama banjar yakni 87 KK.

Arti nama Blanjong dipercaya berasal dari peristiwa saat ada sebuah kapal China di laut.

Kemudian kapal itu disebut Njung.

Tiba-tiba terjadi bencana yang menyebabkan kapal itu belah (pecah) sehingga kalau disambungkan menjadi Blanjong.

Kata Blanjong juga dapat ditemui pada nama pura dan prasasti.

Prasasti Blanjong merupakan peninggalan berupa batu tulis yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.

Hanya saja sampai sekarang belum diketahui secara detail isinya.

Sumerdana menceritakan Prasasti Blanjong merupakan peninggalan Raja pertama Bali, Sri Kesari Warmadewa sekitar tahun 900 an masehi.

Prasasti itu disucikan sehingga tidak sembarang orang boleh masuk ke area pura tempat prasasti itu ditemukan.

“Jadi pura itu diempon oleh tiga kelompok yakni Ceramcam Kesiman, Lantang Idung dan Renon,” kata Sumerdana.

Upacara pemendakan di Pura Blanjong dilaksanakan pada Soma Langkir (2 hari setelah Hari Raya Kuningan).

Biasanya dilaksanakan dari pagi sampai sore hari.

Keunikan lainnya, konon Pura Blanjong ini tidak boleh dilewati oleh mayat atau orang yang menikah.

Masyarakat sekitar sudah mengetahui tentang aturan tersebut dan mereka diharuskan untuk berputar dulu ke jalan arah selatan.

“Cuman orang belum ada yang membuktikan kalau itu dilanggar seperti apa dampaknya karena belum ada yang berani mencoba,” ujarnya.

Aturan tersebut sudah diingatkan oleh tetua sebelumnya secara turun temurun.

Jadi belum ada yang berani ketika ada krama menikah mengambil pasangannya atau membawa mayat kemudian lewat di depan pura.

“Dampaknya kita belum tahu apakah cederà atau apa. Kita tidak berani mencoba melanggar itu,” imbuhnya.

Jadi Benda Cagar Budaya

Prasasti Blanjong telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya tingkat kota oleh Wali Kota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. 

Penetapan ini terlampir melalui surat keputusan Nomor 188.45/825/HK/2019 Tanggal 15 April 2019.

Hal ini pertama kalinya terjadi di Bali, di mana pemerintah daerah melakukan penetapan terhadap Cagar Budaya. 

Penetapan Prasasti Blanjong sebagai Benda Cagar Budaya tingkat kota ini berdasarkan atas proses pengkajian serta rekomendasi penetapan oleh jajaran Tim Ahli Cagar Budaya Kota Denpasar. 

Selanjutnya Prasasti Blanjong layak direkomendasikan untuk ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya karena dinilai telah memenuhi kriteria yang termuat dalam pasal-pasal UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Perda Kota Denpasar No. 12 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. 

(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved