Masyarakat Seharusnya Tak Membayar Kenaikan Iuran Akibat Defisit BPJS
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2019, ditemukan sejumlah celah yang menjadi akar defisit BPJS Kesehatan.
Kondisi ini menurut dia yang memantik sentimen publik seperti sekarang.
"Masyarakat tidak mendapat pelayanan yang baik, kemudian tiba-tiba dinaikkan iurannya," tambah Elfiansyah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019) lalu.
Kenaikan iuran itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja. Adapun aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," ujar Jokowi dalam Perpres No.75 Tahun 2019.
Perpres tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis, 24 Oktober 2019, dan sudah diunggah ke laman Setneg.go.id.
Berikut ini rinciannya: -Iuran peserta kelas 3 akan meningkat menjadi Rp 42.000, dari saat ini sebesar Rp 25.500. -Iuran peserta kelas 2 akan meningkat menjadi Rp 110.000 dari saat ini sebesar Rp 51.000. -Iuran peserta Kelas 1 akan naik menjadi Rp 160.000 dari saat ini sebesar Rp 80.000.
Selain kenaikan untuk peserta mandiri, diatur juga kenaikan untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Iuran bagi Peserta PBI yang didaftarkan oleh pemerintah daerah yaitu sebesar Rp 42.000, naik dari sebelumnya Rp 23.000.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah Diminta Tak Bebankan Defisit BPJS Kesehatan pada Publik"