Kisah Pilu Ayah Korban Penusukan di Denpasar, Putrinya Tewas & Pandu Bingung Bayar Utang Rp 22 Juta

Ayah korban, I Gusti Ngurah Pandu, selain kehilangan putrinya, juga harus menanggung utang biaya perawatan anaknya di RSUP Sanglah sebanyak Rp 22 juta

Penulis: eurazmy | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Ahmad Firizqi Irwan
Kanit PPA Polresta Denpasar bersama Wakasat Reskrim dan Kasubbag Humas menunjukkan tersangka dan barang bukti kasus penusukan di kos Jalan Gunung Sanghyang, Denpasar, Bali. Nekat Tusuk Istri Dipicu Postingan Facebook, Gede Ariasta Pernah Dilaporkan Polisi Karena KDRT 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kasus penusukan istri oleh mantan suami di Jalan Gunung Sanghyang, Denpasar pada Kamis (17/10) silam hingga kini masih menyisakan duka dan rentetan persoalan.

Ni Gusti Ayu Sriasih (21) yang ditikam I Ketut Gede Ariasta (23), meninggal 31 Oktober lalu setelah sebelumnya dirawat intensif di RSUP Sanglah selama 15 hari.

Ayah korban, I Gusti Ngurah Pandu, selain kehilangan putrinya, juga harus menanggung utang biaya perawatan anaknya di RSUP Sanglah sebanyak Rp 22 juta.

Saat dikonfirmasi Tribun Bali,  Ngurah Pandu menyampaikan awalnya dia berupaya untuk mengklaim biaya perawatan anaknya menggunakan BPJS Kesehatan.

Namun dari petugas RS mengatakan bahwa korban penusukan ternyata tidak ditanggung BPJS.

''Saya langsung panik waktu itu. Gak tahu harus gimana. Mikir biaya segitu berat sekali.

Sama petugas RS juga gak dikasih tahu harus gimana,'' tuturnya Kamis (14/11).

Ia diberi tenggat waktu pembayaran selama 14 hari per tanggal 1 Oktober 2019 sejak anaknya meninggal dunia.

Namun hingga habis tenggat waktu, Pandu masih kelimpungan mencari biaya sebanyak itu.

Nominal itu sangat besar bagi Pandu mengingat ia dan istrinya sehari-hari mencari sesuap nasi dari hasil buruh bangunan dan membuat jajan Bali yang hasilnya terbilang tak seberapa.

Belum lagi, masih ada tanggungan empat anak lain yang masih berusia remaja.

''Itu saya bolak-balik Karangasem-Denpasar dengan hanya bekal Rp 20 ribu.

Itu pun saya pinjam ke teman-teman di kampung. Terus terang saya udah gak punya uang,'' jelasnya.

Pandu yang sehari-hari bekerja serabutan sebagai buruh bangunan dan sales freelance ini berharap agar kasus ini bisa diselesaikan.

Menurutnya, seharusnya biaya ini menjadi tanggung jawab pihak tersangka.

''Sudah anak saya meninggal, lagi kami kena utang. Kalau gini kan harusnya saya limpahin ke dia (tersangka).

Bahkan sampai saat ini keluarga dia gak ada sama sekali ke kita, di hari penguburan anak saya pun mereka gak ada datang,'' ungkapnya kesal.

Pandu sempat melapor ke Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Denpasar dan dibantu oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bali.

Ia mengetahui bahwa korban KDRT bisa ditanggung biaya pengobatannya melalui pihak berwenang yakni Pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Namun dari hasil koordinasi, pihak LPSK hanya bisa mengklaim tanggungan biaya sebesar Rp 3 juta saja dari total biaya Rp 22 juta.

Kepala P2TP2A Provinsi Bali, Ni Luh Anggraini menerangkan pihak LPSK tidak bisa menanggung biaya pengobatan lantaran terkendala aturan klaim.

LPSK beralasan ada aturan bahwa tidak bisa menanggung biaya korban selama hari sebelum kejadian dilaporkan. 

''Dan katanya mereka tetap tidak bisa mengklaim semua dan hanya bisa membayar Rp 3 juta dengan alasan status Ayu dinyatakan sebagai korban dihitung sejak dilaporkan, bukan sejak kejadian," jelasnya.

Kejadian yang menimpa korban dilaporkan ke LPSK pasca meninggal dunia yakni pada 31 Oktober 2019.

''Jadi yang bisa diklaim hanya segitu dan kami juga baru tahu ada aturan itu,'' ungkapnya dikonfirmasi, Kamis (14/11).

Anggraini menambahkan, berkaca dari kasus ini ia mengimbau agar masyarakat harus menggali banyak informasi terkait alur penanganan dan pelayanan kasus-kasus KDRT, baik secara bantuan hukum maupun bantuan biaya.

Bahwasanya ada lembaga negara yang berwenang untuk melakukan advokasi terhadap korban kasus kekerasan yakni LPSK.

Kasus ini akan tetap dikonfrontir mengingat memang sosialisasi dari LPSK kepada masyarakat masih minim.

Ini sekaligus menjadi sosialisasi terhadap masyarakat terkait mana-mana saja yang bisa diklaim BPJS dan mana yang tidak.

Bahwasanya ternyata BPJS Kesehatan tidak menanggung kasus korban kekerasan, korban bencana, korban bullying dan korban teroris.

''Masyarakat harus semakin banyak tahu tentang alur penanganan kasus-kasus kekerasan seperti ini dan bisa cepat mendapatkan akses pelayanan dari LPSK sebagai pihak berwenang,'' tegasnya.

Ia berharap dari kejadian ini sistem penanganan kasus di P2TP2A bisa semakin baik, juga koordinasi dengan lintas instansi seperti kepolisian dan rumah sakit bisa sinergis. 

LPSK Minim Sosialisasi

Pihak Ombudsman juga mengambil langkah dengan mengumpulkan pihak-pihak terkait seperti Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Denpasar, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bali dan Dinas Perlindungan Perempuan Provinsi Bali, BPJS Kesehatan Rabu (13/11).

Hanya saja dalam pertemuan tersebut pihak LPSK tidak hadir.

Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Provinsi Bali, dr. Kadek Iwan Darmawan mengungkapkan bahwa secara Undang-undang, kasus seperti ini memang menjadi tanggung jawab LPSK. 

''Jika kemudian ada aturan internal yang mengatakan tidak berlaku mundur sejak dilaporkan, itu kami tidak tahu. Sosialisasinya selama ini memang kurang,'' tegasnya. (azm)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved