LPSK Surati Komisi IX DPR RI dan Menkes Bahas Tanggungan Biaya RS Korban Tindak Pidana
Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo menyayangkan beberapa pihak yang terburu-buru menyalahkan LPSK karena dianggap tidak mau menanggung keseluruhan biaya
Penulis: M. Firdian Sani | Editor: Meika Pestaria Tumanggor
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengadakan pertemuan dengan keluarga korban kasus KDRT di Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Bali, Denpasar, Bali, Jumat (15/11/2019).
Tidak hanya dengan keluarga korban, LPSK juga mengajak pihak BPJS Denpasar, Ombudsman Bali, Dinas Kesehatan Bali, RSUP Sanglah Bali, dan LBH Apik.
Pertemuan ini diadakan untuk mencari solusi terkait pembayaran biaya rumah sakit seorang perempuan berinisial AS (21) korban penusukan oleh suaminya sendiri dengan inisial GA (23) pada Oktober silam.
Selain itu juga, pertemuan ini untuk menjelaskan posisi dan kewenangan LPSK dalam peristiwa ini.
Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo menyayangkan beberapa pihak yang terburu-buru menyalahkan LPSK karena dianggap tidak mau menanggung keseluruhan biaya pengobatan korban.
• Apakah Fitur Sembunyikan Like di Instagram Efektif untuk Kesehatan Mental? Ini Penjelasan Ahli
• 4 Pebulutangkis Indonesia Berjuang di Semifinal Hong Kong Open 2019 Meski Kota Tengah Rusuh
“Terlalu gegabah kalau ada pihak yang menyalahkan dan menganggap LPSK lepas tangan,” ujar Hasto.
Menurutnya, dalam kasus ini LPSK telah bekerja sesuai dengan kewenangan.
Bahkan LPSK telah memberikan perlindungan darurat kepada korban sejak ditetapkan sebagai terlindung.
Namun yang harus dipahami, setiap korban yang mendapatkan bantuan medis dibutuhkan penetapan oleh LPSK yang mengacu pada syarat dan ketentuan perundang-undangan.
Bila melihat aturan yang ada, LPSK hanya bisa mengeluarkan biaya medis setelah korban ditetapkan menjadi terlindung.
Akibatnya biaya medis yang telah keluar sebelum korban menjadi terlindung tidak dapat ditanggung oleh LPSK.
“LPSK tidak punya legalitas untuk mengeluarkan biaya, justru bila LPSK mengeluarkan biaya maka LPSK yang melanggar Undang-Undang,” tuturnya.
• Di Prancis, Seorang Bayi Diberi Free Access Dugem Seumur Hidup karena Lahir di Klub Malam
• Sekali Ketawa Minta Bandara, Menhub Siap Kawal Pembangunan Infrastruktur di Bali
Hasto mengatakan dalam peristiwa semacam ini BPJS tetap memiliki kewajiban untuk menanggung biaya medis korban, karena selain posisinya sebagai lembaga penjamin, BPJS juga menarik iuran dari masyarakat.
Karena dalam praktiknya BPJS pernah tetap memberikan layanan medis kepada korban tindak pidana yang tidak mendapatkan layanan medis dari LPSK.
Hal semacam ini pernah terjadi di RS Imelda Medan dan RSUD Pasar Minggu Jakarta, untuk itu LPSK mempertanyakan mengapa ada tafsiran-tafsiran yang berbeda pada peristiwa yang hampir serupa.
Namun begitu, menurut Hasto, LPSK tetap akan mencari solusi untuk keluarga korban penusukan bersama lembaga lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Jenis layanan yang mungkin bisa diberikan misalnya dalam bentuk layanan psikososial.
Namun LPSK belum bisa memastikan pihak mana yang akan digandeng untuk memberikan layanan psikososial kepada keluarga korban.
Hasto berharap peristiwa semacam ini bisa dicarikan jalan keluar agar tidak ada lagi kekecewaan masyarakat akibat harapan yang terlalu tinggi namun tidak berbanding lurus dengan kewenangan yang LPSK miliki.
• Irwansyah & Zaskia Sungkar Tingalkan Polrestabes Bandung Diam-diam,Diperiksa Atas Laporan Medina Zen
• Bayi Baru Lahir Wajib Ikut BPJS Kesehatan, Bagaimana Aturannya?
Sebagai langkah konkrit, LPSK telah menyurati Komisi IX DPR RI dan Menteri Kesehatan yang baru untuk mengagendakan pertemuan guna membahas persoalan tanggungan biaya rumah sakit bagi korban tindak pidana.
Terlepas dari masalah ini, LPSK mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak di Bali utamanya pendamping korban yang terus memberikan perhatian kepada korban-korban tindak pidana.
Semoga peristiwa ini tidak merusak hubungan yang sudah terjalin baik selama ini. (*)