Pendapatan RSUD Buleleng Turun Rp 60 M, Dampak Kebijakan Rujukan Berjenjang BPJS

Pendapatan RSUD Buleleng turun hingga sebesar Rp 60 miliar tahun ini. Penurunan ini imbas dari kebijakan pusat terkait sistem rujukan berjenjang BPJS

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Meika Pestaria Tumanggor
Tribun Bali/ Ratu Ayu Astri Desiani
Suasana di depan RSUD Buleleng, Senin (18/11/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Pendapatan RSUD Buleleng turun hingga sebesar Rp 60 miliar tahun ini.

Penurunan ini disebut-sebut imbas dari kebijakan pusat terkait sistem rujukan berjenjang BPJS Kesehatan.

Sistem rujukan berjenjang membuat rumah sakit terbesar di Kabupaten Buleleng ini menjadi sepi pengunjung, khususnya di bagian Poli Klinik. Padahal target pendapatan RSUD Buleleng di tahun 2019 ini sejatinya sebesar Rp 107 miliar.

Dirut RSUD Buleleng, Gede Wiartana menjelaskan, target yang sudah tercapai saat ini baru Rp 86 miliar.

Ia mengakui memang kebijakan pusat terkait sistem rujukan berjenjang yang sangat mempengaruhi. 

Sehingga jumlah pengunjung utamanya di bagian Poli Klinik menurun hingga 60 persen, dan rawat inap menurun sekitar Rp 10 persen.

Dari 2.200, 660 Ruangan Kelas di Karangasem Rusak

Dikabarkan Akan Jadi Bos BUMN, Ini Daftar Prestasi Ahok Selama jadi Gubernur DKI

Hal ini kemudian berdampak pada pendapatan dari RSUD Buleleng sendiri.

"Jumlah pengunjung ini berkurang sejak diberlakukannya sistem rujukan berjenjang. Tapi pendapatan itu sebenarnya bukan sasaran utama. Indikator kinerja kami itu adalah pelayan yang harus bermutu," katanya, Senin (18/11/2019).

Selain disebabkan oleh sistem rujukan berjenjang, penurunan pendapatan ini kata Wiartana juga terjadu lantaran pihak BPJS Kesehatan belum membayar tagihan klaim ke RSUD Buleleng sebagai rumah sakit mitranya, sejak Juli hingga Oktober 2019.

Di mana jumlah tagihannya diperkirakan mencapai Rp 28 miliar.

Pihak rumah sakit sendiri, ditegaskan Wiarnata sudah berulang kali melakukan penagihan kepada BPJS Kesehatan Buleleng.

Namun, pihak BPJS berdalih belum menerima kiriman dana dari pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan.

Selain itu, Wiartana juga membeberkan sejak Januari hingga Oktober 2019 ini, ada 221 pasien jalur umum yang juga masih berutang di RSUD Buleleng.

Sejumlah Perwira Tinggi Polri Ini di Mutasi, Ada Sosok Komjen Condro Kirono dan Irjen Firli Bahuri

Bali United Bisa Mengunci Gelar Juara Lebih Cepat, Ini Pemetaan Juara Liga 1 Indonesia 2019

Di mana total nilai utangnya mencapai Rp 667 juta.

Ia pun berharap bagi pasien-pasien yang masih berutang itu agar dapat dicover oleh layanan Universal Health Coverage (UHC).

"Nama dan alamat pasien-pasien itu kami masih punya. Ini jadi masalah sendiri. Sampai sekarang belun dibayar. Harusnya ini bisa dicover oleh program UHC. Kalau bisa dicover kami bisa segera mengklaim," terangnya.

Dengan menurunnya jumlah pendapatan ini, Wiartana mengaku terpaksa memohon permakluman kepada pihak rekanan, khususnya di bagian obat untuk dapat menunda pembayaran hingga Januari 2020 mendatang.

Batal Beli CT Scan

Kondisi ini pun kata Wiartana sudah dapat dimaklumi oleh pihak rekanan yang sudah bekerjasama dengan RSUD Buleleng.

Namun terkait pengadaan alat-alat medis yang sudah dirancang akan dibeli dari jauh-jauh hari, terpaksa ditunda untuk sementara waktu. Seperti alat CT-Scan, yang nilainya diperkirakan mencapai miliaran Rupiah.

"Penurunan pendapatan ini diikuti dengan penurunan belanja. Karena jumlah pasien menurun, maka jumlah belanja obat juga menurun. Termasuk makan minum pasien dan sampah medis juga turun. Akhirnya mutu tetap bisa dipertahankan. Seperti upah tenaga kontrak, jasa pelayanan, listrik, air dan pendidikan pelatihan tetap bisa kami bayar," tutupnya.

Sistem rujukan berjenjang ini berlaku bagi pasien yang ingin menjalani rawat jalan seperti poli klinik.

Pasien harus mendatangi Fasilitas Kesehatan (Faskes) 1 terlebih dahalu.

Jika tidak mampu tertangani, maka pasien tidak dapat langsung dirujuk ke rumah sakit tipe B atau A.

Melainkan harus ke rumah sakit tipe terendah yakni D atau C terlebih dahulu sesuai kebutuhan dan ketersediaan fasilitas pelayanan.

Rumah sakit tipe B atau A akan menjadi pilihan terkahir jika penanganan benar-benar tidak dapat dilakukan di rumah sakit tipe D dan C.

Di Buleleng, rumah sakit yang masuk dalam  tipe D adalah RS Tingkat IV Singaraja Wirasatya, RS Santi Graha Seririt, RS KDH BROS Singaraja, dan Klinik Dharmananta di Desa Kayu Putih.

Sementara rumah sakit tipe C  adalah RS Parama Sidhi dan RS Kertha Usada. Sedangkan rumah sakit tipe B adalah RSUD Buleleng. (*)

Kubu Lawan Kehilangan 5 Pemain Inti, Lini Serang Bali United Komplet Jelang Tandang ke Makassar

Lawan Trauma, Agus Nova Mulai Latihan Setelah Setahun Absen

Dana Dari Pusat Belum Cair

Kepala BPJS Kesehatan Buleleng, Elly Widiani tidak menampik terkait adanya tunggakan di RSUD Buleleng itu.

Hal ini disebabkan karena dana dari Kementerian Keuangan RI yang belum cair. Kondisi ini pun diakui Elly tidak hanya terjadi di RSUD Buleleng saja, melainkan juga di rumah sakit lain yang menjadi mitra BPJS Kesehatan.

"Ini terjadi di seluruh Indonesia," katanya.

Belum cairnya dana dari Kementerian Keuangan jelas Elly juga disebabkan lantaran BPJS Kesehatan sendiri mengalami defisit, sebab iuran yang dipatok dirasa belum rasional dengan manfaat yang sudah diberikan.

Itu lah sebabnya pihak pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019.

Elly mengaku telah mendorong  pihak rumah sakit untuk menggunakan mekanisme supply chain financing (SCF).

Artinya, piutang BPJS Kesehatan yang sudah dituang dalam berita acara dapat diagunkan ke bank-bank yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

"Ini konsep pembayaran kami kan dari pusat. Sembari menunggu agar pelayanannya tetap terjaga, kami mendorong rumah sakit untuk menggunakan mekanisme SCF dulu," tutupnya. (*) 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved