Soroti Efek Pariwisata Massal, Bali Masuk Daftar No List Media AS, Begini Respon Pelaku Pariwisata
Media wisata asal Amerika Serikat, Fodor's Travel, meluncurkan daftar destinasi untuk dikunjungi dan tidak disarankan untuk dikunjungi pada 2020.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Media wisata asal Amerika Serikat, Fodor's Travel, meluncurkan daftar destinasi untuk dikunjungi dan tidak disarankan untuk dikunjungi pada 2020.
Ironisnya, dalam daftar destinasi yang tidak layak dikunjungi pada 2020 atau masuk daftar No List, Fodor's Travel mencantumkan nama Bali!
Fodors memasukkan Bali dalam kategori Tempat yang Tidak Menginginkan Anda (atau Menginginkan Anda dalam Takaran yang Lebih Kecil dan Lebih Baik).
Masuknya Bali ke dalam No List lantaran Pulau Dewata menderita efek overtourism dalam beberapa tahun terakhir.
"Bali, pulau yang paling banyak dikunjungi di Indonesia telah menderita efek pariwisata massal dalam beberapa tahun terakhir, sampai pemerintah menarik pajak turis untuk membantu memerangi efek (pariwisata massal) terhadap lingkungan," dikutip dari situs Fodors.com, Selasa (19/11).
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memang berencana mengenakan pungutan bagi wisatawan mancanegara (wisman) sebesar 10 dolar AS.
Rencana ini sudah dapat dukungan DPRD Bali dan beberapa asosiasi pariwisata seperti PHRI Bali dan Asita Bali.
Pungutan akan dilakukan melalui penjualan tiket atau pembelian tiket yang dilakukan oleh orang asing melalui pesawat udara.
Dana tersebut akan dimanfaatkan sampai ke desa adat yang paling bawah di Bali karena desa adat di Bali adalah benteng terakhir budaya Bali.
Selain persoalan pungutan, Fodor's Travel juga menyoroti permasalahan sampah di Bali.
Mereka menyebutkan, Bali pada 2017 dideklarasikan sebagai kawasan darurat sampah lantaran terlalu banyak sampah plastik di pantai dan perairan.
"Badan Lingkungan Hidup Bali mencatat bahwa pulau itu menghasilkan 3.800 ton sampah setiap hari, dengan hanya 60 persen berakhir di tempat pembuangan sampah. Sebuah pengamatan yang jelas bagi siapa pun yang mengunjungi pulau itu," tulis Fodor's Travel.
Hal lain yang menjadi fokus Fodor's Travel adalah kelangkaan air bersih di Bali karena pembangunan vila dan lapangan golf yang berdampak pada petani lokal.
Selain itu perilaku turis yang tidak senonoh, terutama di kawasan suci hingga membuat pihak berwenang di Bali berupaya membuat peraturan dan pedoman.
"Wisatawan yang mengunjungi situs-situs keagamaan dengan mengenakan pakaian renang, memanjat situs-situs suci, dan umumnya tidak menghormati adat dan norma budaya," tulis Fodor's Travel.
Pada tahun ini, terdapat 13 destinasi wisata yang masuk No List.
Pihak redaksi Fodor’s Travel mengklaim pencantuman semua lokasi ini dalam daftar dilakukan secara bertanggung jawab dan bertujuan untuk memperbaiki kondisi tempat-tempat tersebut di masa depan.
Selain Bali, destinasi terkenal lain di dunia yang tidak disarankan oleh Fodor's Travel untuk dikunjungi pada 2020 adalah Angkor Wat di Kamboja, Hanoi Train Street atau jalur kereta di Hanoi, Vietnam, Barcelona di Spanyol, dan Big Sur di California.
No List atau daftar destinasi yang lebih baik dipertimbangkan untuk tidak dikunjungi dari Fodor's Travel berfokus pada isu lingkungan, etika, dan terkadang politik.
Fodor's Travel adalah media wisata yang berawal dari buku panduan wisata dengan cikal bakal pada 1936 di London, Inggris. Pada 1949, buku panduan wisata modern Fodor's diproduksi di Perancis.
Kemudian, pada 1996 situs resmi Fodor's Travel dibuat. Selanjutnya, pada 2016 situs ini diakuisisi oleh perusahaan internet di California, Amerika Serikat.
PHRI-IHGMA Prihatin
Pemberitaan Fodor’s Travel tersebut tak pelak membuat geram pelaku dan praktisi pariwisata di Pulau Dewata.
Mereka tak setuju jika Bali dianggap tak layak dikunjungi.
“Ini cukup memprihatinkan, karena Bali masih sangat layak dikunjungi,” kata Ketua PHRI Badung, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya, kepada Tribun Bali, Selasa (19/11).
Rai Suryawijaya membantah jika Bali sudah kelebihan wisatawan asing.
Ia mengatakan masih ada 35 persen okupansi yang perlu diisi di Bali. Saat ini rata-rata okupansi hanya 65 persen (avarage).
Untuk mencapai okupansi hingga 80-90 persen, dibutuhkan setidaknya 9 juta kedatangan wisman ke Bali.
Sementara sekarang masih antara 5-6 juta wisman yang datang ke Pulau Dewata.
Berita ini pun dianggap akan berdampak negatif, apalagi wisman Amerika Serikat, merupakan salah satu wisman potensial bagi Bali.
Terkait pungutan untuk wisatawan 10 dolar AS yang disoroti media AS tersebut, Rai mengatakan hampir seluruh negara di dunia memberlakukan pungutan seperti ini.
“Bayangkan Bhutan saja memungut retribusi ke turis sampai 250 dolar per orang. Makanya Bhutan menjadi salah satu destinasi wisata termahal di dunia,” sebutnya.
Namun efek sampingnya secara internal, turis yang datang jauh lebih berkualitas.
Selain itu, Bhutan mampu menjaga kelestarian alam dan masyarakatnya. Apalagi memang turis yang datang dibatasi setiap tahunnya.
Wakil Ketua Umum I IHGMA, I Made Ramia Adnyana, juga menilai wajar adanya admission fee atau kontribusi wisatawan (KW) ini.
“Kalau menurut saya itu tidak fair, karena hampir semua negara memberlakukan KW ke turis,” tegasnya.
Besarannya pun beragam dan Bali hanya mengenakan 10 dolar per orang. KW ini masih digodok oleh dewan dan rencananya akan dibuatkan Perda atau Pergub sebelum diterapkan.
“Dengan KW ini, maka yang datang adalah responsible turis, karena mereka ikut membantu menjaga Bali,” jelasnya.
Sebab rencana awal admission fee atau KW ini, dicetuskan BTB dan stakeholder terkait untuk menjaga adat budaya Bali.
“Turis yang menikmati juga bisa ikut bertanggung jawab dengan membayar hanya 10 dolar,” imbuhnya.
Hal ini diharapkan ke depan, mampu memberikan kontribusi bagi pelaku adat seni dan budaya. Sehingga mereka yang menjadi pusat dari keunikan wisata Bali, bisa ikut menikmati kue pariwisata.
“Ini untuk menjaga destinasi Bali agar tetap sustainable, berkelanjutan, melalui pemelihataan lingkungan dan peninggalan sejarah yang ada di Bali terasuk juga mempertahankan adat dan budaya ini perlu cost,” tegasnya.
Temui Konjen AS
Sementara untuk masalah sampah, khususnya sampah plastik di Bali telah ada Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur.
Ia yakin, ke depan pemerintah dan stakeholder pariwisata akan terus fokus terkait masalah sampah ini.
Sehingga wisman kelas atas, seperti dari Eropa dan Amerika akan meningkat datang ke Bali.
“Saya prihatin wacana seperti ini akan kian menjerumuskan Bali, apalagi belakangan ranking Bali tidak menjadi nomor satu di dunia,” imbuhnya.
Solusi jangka pendek, PHRI Bali dan seluruh kabupaten/kota akan berkoordinasi dengan pemerintah dan stakeholder terkait.
“Saya juga rencana ketemu dengan Konjen Amerika ihwal ini dalam waktu dekat sehingga bisa mendapatkan solusi meredam isu seperti ini,” tegasnya.
Sementara solusi jangka panjang, kata dia, sesuai dengan 4 pilar pariwisata.
Di antaranya, destinasi diperbaiki, infrastruktur terus dibenahi, promosi digencarkan, dan bersatu antar semua lembaga terkait.
Ia pun terus menyoroti moratorium penambahan akomodasi pariwisata di Bali.
“Kami juga fokus menuju quality tourism ke depan bukan mass tourism lagi,” katanya. (azm/ask)