"Boleh Jadi Raja Asal Jangan Menipu", Cokorda Pemecutan Tanggapi Fenomena Keraton Agung Sejagat

Raja Puri Pemecutan Ida Tjokorda Pemecutan XI mengatakan, boleh saja mereka mengaku-ngaku disebut sebagai raja, asalkan tidak untuk menipu

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Wema Satyadinata
Raja Puri Pemecutan Ida Tjokorda Pemecutan XI. "Boleh Jadi Raja Asal Jangan Menipu", Cokorda Pemecutan Tanggapi Fenomena Keraton Agung Sejagat 

"Boleh Jadi Raja Asal Jangan Menipu", Cokorda Pemecutan Tanggapi Fenomena Keraton Agung Sejagat

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Masyarakat digegerkan dengan keberadaan Keraton Agung Sejagat yang ada di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, karena ada motif penarikan dana dari masyarakat dengan cara tipu daya dan menggunakan simbol-simbol kerajaan.

Bahkan, Totok Santosa Hadiningrat (42) dan Fanni Aminadia (41) yang merupakan raja dan ratu Keraton Agung Sejagat telah ditetapkan sebagai tersangka.

Atas fenomena ini, Raja Puri Pemecutan Ida Tjokorda Pemecutan XI mengatakan, boleh saja mereka mengaku-ngaku disebut sebagai raja, asalkan tidak untuk menipu dan mencari uang.

 “Itu saja prinsipnya. Idenya memang bagus, tapi ada nipu sehingga perjalanannya kurang elok. Saya tidak pernah menipu. Malah saya sering ditipu,” kata Tjokorda Pemecutan saat ditemui di Puri Pemecutan Denpasar, Bali, Sabtu (18/1/2020).

Ditemukan Tewas, Kepala SAR Buleleng Sebut Kaki Putu Agus Terikat Pemberat, Muncul Dugaan Ini

Viral Curhat Ratu Keraton Agung Sejagat, Mengaku Diperlakukan Seperti Teroris, Tak Tahu Salahnya Apa

Munculnya kerajaan fiktif ini terjadi karena adanya kerinduan terhadap trah raja di masa lalu, karena baik orang Bali, Jawa, Sumatera maupun daerah lainnya semua memiliki trah kerajaan.

Misalnya, kata dia, dulu kakeknya menjadi wedana atau penggawa, sedangkan sekarang dia menjual krupuk.

“Saya tidak menyalahkan mereka seperti itu. Banyak juga ada kerajaan-kerajaan seperti itu di Bali, dia ingin menjadi raja. Punya uang sedikit ingin jadi raja,” ungkapnya

Sekarang yang terpenting adalah bagaimana budi pekerti dalam kehidupannya.

Cokorda mengingatkan seseorang masuk surga atau neraka tergantung dari perbuatan dan budi pekerti masa lalu.

Disisi lain, Cokorda berpesan agar pemerintah bisa memberikan rasa adil, dan jangan tebang pilih kepada seluruh rakyatnya.

Semua fenomena sosial ini terjadi karena keadaan semata.

MotoGP Nobatkan 3 Pebalap Jadi Legenda di 2020, Ini Nama-namanya

4 Fakta Kesultanan Selaco di Tasikmalaya, Klaim Ada Lisensi PBB, Punya Menteri hingga Pendanaan

“Pulang ke rumah nasi tidak ada, sekolah mahal, tamat sekolah tidak bisa bekerja kalau tidak ada koneksi, sehingga ketika diajak melakukan yang aneh-aneh mereka mau saja,” tuturnya.

Maka dari itu, hal-hal seperti perbaikan jalan-jalan di kampung, akses listrik dan air, rabies dan demam berdarah agar diselesaikan lebih dulu sekarang, dan harus dinomorsatukan oleh pemerintah.

Kasus-kasus seperti inilah yang bisa menyebabkan orang berontak, dan bukan berarti mereka anti Pancasila.

Secara khusus Cokorda menyebut tugas Pemerintah Provinsi Bali yang terpenting saat ini adalah memerangi kemiskinan dan kebodohan.

Adapun tolak ukur seseorang disebut sebagai raja dapat dilihat dari darah, trah dan sejarahnya.

Ia juga mengimbau seluruh raja di Nusantara jangan bernostalgia terlalu tinggi. 

Hal itu tidak bisa lagi dilakukan karena masyarakat Indonesia sudah bersepakat NKRI harga mati.

Jangan sampai ada klaim republik ini milik pribadi, karena bangsa ini milik bersama.

Menurutnya, kemunculan fenomena kerajaan palsu tidak ada pengaruhnya di Bali.

Diceritakan, dulunya pusat budaya dan kesenian ada di puri.

Bahkan orang menikah dan pindah rumah harus meminta izin kepada raja.

(*) 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved