Jembatan Bambu Hanyut Akibat Luapan Sungai di Bangli, Puluhan KK di Subak Yeh Tangga Terisolir

Jembatan Bambu Hanyut Akibat Luapan Sungai, Tiga Siswa Terpaksa Tidak Bisa Pulang Kerumah, 20 KK Warga Sekitar Terisolir

Istimewa
Kondisi jembatan penghubung di sungai yeh tangga sebelum hanyut akibat luapan sungai. 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI – Hujan deras yang terjadi di wilayah Bangli, Bali pada Selasa (11/2/2020) berdampak pada hanyutnya jembatan bambu di wilayah Desa Subaya.

Kondisi ini menyebabkan puluhan KK warga di Subak Yeh Tangga terisolir.

Perbekel Desa Subaya, Nyoman Diantara ketika dikonfirmasi membenarkan hal tersebut.

Pihaknya mengungkapkan hanyutnya jembatan itu terjadi akibat hujan deras di wilayah sekitar sejak pukul 11.00 WITA hingga 14.30 WITA.

Begini Keluhan Pelatih Bali United Soal Lisensi Kepelatihannya Kembali Dipermasalahkan di AFC Cup

Prakiraan Cuaca Menurut BKMG, Sejumlah Kota di Bali Cerah Berawan Hingga Hujan Ringan

Debut Nadeo di Piala AFC 2020 Bersama Bali United, Kebobolan 1 Gol & Nasib Andhika Wijaya

Akibatnya volume air di sungai Yeh Tangga meluap dan menerjang jembatan tersebut.

Dijelaskan, jembatan yang dibangun setahun lalu tersebut merupakan satu-satunya akses warga dari Subak Yeh Tangga menuju Tejakula, Buleleng.

Baik untuk jalur ekonomi, maupun pendidikan.

Alasan pembuatan jembatan bambu tidak lain untuk memberikan akses masyarakat agar bisa dilintasi sepeda motor.

Pasalnya arus sungai Yeh Tangga cenderung deras, mengingat sungai ini merupakan induk sungai dari sejumlah desa di wilayah sekitar.

“Normalnya ketinggian jembatan mencapai 2 meter dari permukaan air sungai. Sedangkan panjang jembatan mencapai 25 meter, dan lebar 1,5 meter. Namun dengan musibah yang terjadi, jembatan tersebut sudah lenyap tak ada sisa, karena air dari Desa Kutuh, Desa Sukawana, serta pusat Desa Subaya mengalir kesana,” ungkapnya.

Lantaran menjadi satu-satunya akses, Diantara tidak memungkiri 20 KK warga sekitar akhirnya terisolir.

Bahkan ia menyebut setidaknya ada tiga siswa yang tidak bisa kembali kerumahnya.

“Tidak ada jalur lain yang bisa dilewati, sebab posisi kediaman 20 KK itu berada dibawah tebing. Jika ingin menuju ke pusat desa, satu-satunya cara adalah dengan jalan kaki lewat perbukitan. Dengan kejadian ini, kami sudah menyarankan agar anak-anak untuk sementara menginap di kerabat yang berada wilayah disekitar,” ungkapnya.

Ia mengatakan hanyutnya jembatan penghubung ini bukan kejadian kali pertama.

Sebab itu pihaknya harus menganggarkan Rp. 5 juta untuk pembelian bambu, melalui pos tak terduga di APBDes.

Sedangkan pembuatan jembatan dilakukan secara gotong royong oleh warga sekitar.

Disinggung mengenai pembangunan jembatan permanen, Diantara mengatakan bukan pihaknya tidak peduli dengan warga masyarakat di Subak Yeh Tangga.

Ia menegaskan pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan namun terhalang oleh kewenangan.

Ini mengingat akses yang akan dibangun menghubungkan dua wilayah yang berbeda kabupaten.

“Disamping itu, karena lokasi pembangunan berada di wilayah daerah aliran sungai, kan itu bukan kewenangannya kabupaten. Namun lebih ke kewenangan provinsi,” ungkapnya.

“Kami dari pihak desa juga sudah mengusulkan ke provinsi untuk pembuatan jembatan permanen. Bahkan juga sudah mengusulkan ke wakil rakyat, sudah sempat kami beri gambaran bagaimana situasinya. Usulan ini sudah kami sampaikan pada tahun 2016 silam, mengingat ada bencana serupa di wilayah sekitar. Namun berulang kali kami usulkan hingga kini tidak ada tindak lanjut,” ujarnya.

Ia pun tidak memungkiri intensitas hujan yang saat ini tergolong tinggi, juga berpotensi terjadi peluapan sungai yang lebih besar.

Dilain sisi pada tahun 2019, hutan di wilayah sekitar sempat terjadi kebaran, sehingga berpotensi menimbulkan longsor akibat kontur tanah yang labil.

“Harapan kami utamanya kepada pihak provinsi yang membidangi tentang masalah sungai, kami mohon agar tidak terus terjadi seperti ini. Setiap tahun saya terus nyari bambu. Iya kalau bambunya masih ada, kalau tidak ada bagaimana saya mengambil solusi?. Kalau menggunakan kayu, potensi hanyutnya lebih tinggi. Apalagi saat memasuki bulan-bulan Februari, dijamin tidak ada jembatan lagi disana. Karenanya kami harap dibangunkan jembatan permanen. Selain itu kami juga berharap agar dibangunkan dinding penahan tanah, sehingga potensi longsor berkurang,” ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved