Yang Berbeda dari Galungan di Tenganan Pegringsingan Karangasem: Tanpa Penjor dan Bau Dupa
Saat Galungan, penjor dan bau dupa yang menjadi ciri khas Hari Raya Galungan tidak terlihat di Tenganan Pegringsingan Karangasem
Penulis: Saiful Rohim | Editor: Irma Budiarti
Yang Berbeda dari Galungan di Tenganan Pegringsingan Karangasem: Tanpa Penjor dan Bau Dupa
TRIBUN-BALI.COM, KARANGASEM - Suasana di Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali, berbeda saat perayaan Galungan, Rabu (19/2/2020) pagi hari.
Warga tampak beraktivitas seperti biasa, berdagang, membuat lontar, dan gotong royong.
Wisatawan pun berlalu lalang di Tenganan.
Penjor yang menjadi ciri khas Hari Raya Galungan tidak terlihat di sekitar Tenganan Pegringsingan Karangasem saat Galungan.
Bau dupa di pemukiman juga tidak tercium.
Janur, kembang dan canang untuk proses sembahyang sama sekali tidak terlihat.
Yang terlihat hanya buah-buahan berisi jaje khas bali, daging babi dan ayam.
Klian ke 2 Desa Tenganan Pegringsingan, Wayan Sudarsana menjelaskan, perayaan Hari Raya Galungan di Desa Tenganan beda dengan daerah lain pada umumnya.
Mulai dari rangkaian sembahyang, sarana dan prasarana untuk bersembahyang, hingga persiapan sebelum Hari Raya Galungan.
• Hari Raya Galungan, Tenaga Medis RSUD Sanglah Tetap Siaga
• Makna Galungan Menurut Pemangku Pura Agung Jagatnatha, Ada Tahapan-Tahapan Menuju Dharma
"Makna Galungan di Tenganan Pegringsingan dengan daerah lain sama. Yakni kemenangan Dharma atas Adharma. Yang membedakan sarana dan prasarana. Di Tenganan tidak ada penjor. Warga biasanya memenjor saat usaba sambah," ungkap I Wayan Sudarsana, Rabu (19/2/2020) siang.
Peerayaan Galungan tanpa penjor sudah dilakukan dari dulu.
Bantenan yang digunakan sembahyang bukan canang, melainkan bantenan uduwan.
Bahannya dari hasil pertanian di sekitar Tenganan, dan jajan khas bali.
Seperti tumpeng, angine, iwel, gegodoh, jeruk, pisang, semangka, anggur, pir, dan lainnya.
"Komposisi bantenan uduan berisi hasil pertanian dari desa, dan jajan khas Tenganan Pegeringsingan. Ukuran harus besar tak boleh kecil. Seperti tumpeng, iwel, angine, gegodoh, jruk, pisang, semangka, anggur, pir, durian serta buah lainnya," kata Sudarsana, sapaannya.
Ditambahkan, banten uduwan berisi olahan makanan khusus dari dagung babi serta ayam, seperti sate kacu daging babi dirajang dan dicincang halus dibungkus daun pisang.
Uniknya sate kacu direbus, bukan dibakar.
• Pemangku Pura Agung Jagatnatha Pimpin Persembahyangan Hari Raya Galungan Dari Siang Sampai Malam
• Tak Pulang Kampung Pas Hari Raya Galungan, Beberapa Pedagang Canang Ini Berjualan di Pura Jagatnatha
Olahan kedua, sate pangung dari kelapa, kacang ijo, dan telur.
Engkuk (usus babi) panggang.
Sudarsana mengungkapkan, banten uduwan isi ayam tulus yang dipanggang akan dihaturkan krama desa di Pura Puseh.
Banten uduwan dihaturkan ke Pura Ulun Suarga dan Pura Bale Agung Tenganan Pegringsingan.
Persembahyangan dimulai dari pagi sampai selesai, sekitar pukul 11. 30 Wita.
Di waktu yang sama, krama juga menghaturkan kepala babi ke Pura Desa atau Bale Agung untuk upacara peta wilayah (batas wilayah Desa Adat Tenganan).
Tujuannya diberikan keutuhan untuk wilayah, sehingga wilayah Tenganan Pegringsingan tetap, tidak kurang maupun bertambah wilayahnya.
Wayan Sudarsana mengatakan, makna Hari Raya Galungan sama, yaitu merayakan kemenangan dharma atas adharma, mohon keselamatan, dan ucapan rasa syukur kepada Tuhan Maha Esa, yang memberikan rezeki berlimpah.
Yang membedakan bantenan dan tak ada penjor, yang sudah menjadi warisan.
Setelah dihaturkan, bantenan uduan dibawa sekitar Bale Banjar untuk dimakan bersama dan dibagikan ke krama.
Setelah persembahyangan, warga kembali beraktivitas seperti biasanya.
Berkumpul, berkebun di sekitar Tenganan Pegeringsingan, serta berdagang.
Prosesi ini berjalan setiap Hari Raya Galungan.
(*)